41. Positive Thinking

381 21 1
                                    

~~~~•••~~~~

DIHARI yang sama. Zahra sepagi ini sudah siap-siap untuk pergi. Tapi tidak ke kantor melainkan ke panti yang sedang membutuhkannya. Tentunya Zahra juga mengambil cuti hari ini satu hari.

Panti saat ini sedang membutuhkannya. Karena dikabarkan ada satu anak panti yang sakit. Suhu tubuh anak itu tidak kunjung turun. Malah semakin panas. Awalnya ibu panti hanya memberinya obat penurun panas tapi semakin malam suhu tubuhnya terus naik. Hingga ibu panti menghubungi Zahra. Tapi Zahra harus menunggu pagi untuk bisa pergi ke panti. Tak lupa ia juga menghubungi Gadzi sebagai pemilik dan ketua komunitas yang mengurus panti itu.

Tapi sampai pagi ini pun pesan Zahra tak juga terbaca oleh Gadzi mau pun Rheina. Tertera dua centang yang masih berwarna abu-abu di sana. Panggilannya juga diabaikan.

Setelah siap-siap ia segera pergi ke panti untuk membawa anak itu ke rumah sakit agar segera mendapatkan pertolongan.

"Semoga aja, uang di panti masih cukup buat biaya berobat Tiara." Gumamnya pada diri sendiri. Karena pada saat itu juga ia sedang tidak memegang uang. Ada uang yang hanya cukup untuk membeli kebutuhannya saja, seperti halnya untuk membeli bahan bakar motornya.

Apa Zahra belum menerima gaji bulanannya?

Tentu saja sudah. Perusahaan tempat ia bekerja tidak pernah terlambat memberikan gaji bagi semua karyawannya. Lantas?

Dua minggu lalu Abi sempat masuk rumah sakit karena asmanya yang tiba-tiba kambuh. Ditambah lagi Abi terkena gejala stroke. Jadi uangnya digunakan untuk biaya obat Abi, mengingat pengobatan di jaman sekarang tidaklah sedikit.

Ia juga tidak enak jika semua biaya harus Fahri yang menanggung. Karena Fahri sudah berkeluarga. Jadi, Zahra menggunakan uangnya untuk itu. Tapi, alhamdulillah Abi sudah kembali membaik.

Ia pergi menggunakan sepeda motornya.  Pagi ini memang udara terasa lebih dingin dari biasanya. Jadi, Zahra mengenakan jaket pemberian Gadzi waktu itu. Bukan, lebih tepatnya dari ibu Gadzi yang menganggap Zahra sebagai anak perempuannya.

Motornya melaju dengan kecepatan rata-rata. Karena jalanan yang begitu ramai, membuat Zahra tidak berani mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.

Ditambah lagi udara sekitar yang tak kunjung menghangat. Padahal sang surya sudah muncul dari tempat istirahatnya.

Udara dingin terasa menerpa wajahnya. Membuat Zahra harus sedikit menyipitkan kelopak matanya. Zahra masih mengendarai motornya dengan kecepatan rata-rata, tidak lebih dari itu.

Di sebuh tikungan menuju panti ia tak sengaja hampir menabrak ibu-ibu penjual sayuran. Karena jalanan itu memang rawan mengingat tikungan yang tajam sehingga tidak terlihat dari arah berlawanan.

"Astaghfirullah.."

Keduanya sama-sama terkejut. Untung saja Zahra sigap menarik remnya. Zahra menghentikan motornya kemudian menghampiri ibu itu yang sedang memungut beberapa sayuran yang terjatuh.

Zahra tidak sampai menabraknya. Hanya saja si ibu yang terlalu kaget membuat tumpukan sayurannya sedikit berantakan.

"Bu, Ibu... Ibu tidak apa-apa?" Katanya sambil membantu Ibu itu menata kembali barang dagangannya.

"Tidak apa-apa, Nak. Cuma kaget. Kamu nggak apa-apa, kan?" Kata ibu itu sambil memegang lengan Zahra yang sedikit bergetar.

"Alhamdulillah, tidak apa-apa, Bu. Maaf ya, tadi saya agak buru-buru, nggak lihat ada Ibu mau nyeberang," Ucap Zahra sedikit menyesal.

"Tidak apa-apa, Nak. Lain kali kalau lewat sini hati-hati, ya. Tempat ini emang rawan. Tikungannya tajam," kata ibu itu.

"Iya, bu. Sekali lagi saya minta maaf."

"Iya, Nak. Ibu tidak apa-apa kok."

"Em, Bu sebagai permintaan maaf saya, gimana kalau saya beli dagangan ibu."

"Wah, beneran ini, Nak? Sejak tadi pagi belum ada yang beli," keluh Ibu itu.

Zahra tersenyum.

"Kalau gitu saya mau buah jeruknya ya, bu? Berapa?"

"Itu satu plastik isi satu kilo, Nak. Delapan ribu saja."

"Saya beli lima kilo ya, Bu."

Kemudian si ibu memasukkan beberapa bungkus jeruk ke dalam plastik yang lebih besar. Zahra memberi ibu itu uang satu lembar lima puluh ribu.

"Sebentar kembalinya, Nak."

"Eh, tidak usah, Bu. Untuk ibu saja," tolak Zahra dengan lembut.

"Tapi, Nak-"

"Sudah untuk Ibu saja. Kalau gitu saya pamit ya, Bu. Ibu hati-hati di jalan semoga dagangan Ibu hari ini habis terjual dan Ibu selalu diberi kesehatan oleh Allah."

"Aamiin, Nak. Untuk kamu juga semoga rezeki kamu mudah, Nak."

"Aamiin, Bu. Ya sudah kalau gitu saya pergi dulu, Bu."

Zahra kembali melaju dengan motornya menuju panti. Sesampainya di pekarangan panti asuhan itu ia mendapati Ibu panti yang gelisah.

"Assalamu'alaikum, Ibu. Bagaimana Tiara?"

"Mbak Zahra, panasnya semakin tinggi." Tanpa basa-basi mereka segera menuju kamar Tiara. Dan benar saja, setelah Zahra memegang dahi Tiara memang terasa panas sekali. Sepertinya anak itu mengalami demam yang tidak biasa.

"Bu, kita harus bawa Tiara ke rumah sakit."

"Tapi, Mbak. Uang di panti menipis."

"Nanti saya coba hubungi Kak Gadzi lagi, Bu biar segera mengirim uang untuk panti. Karena dari kemarin malam pesan saya belum juga mendapat jawaban."

"Memangnya Mbak Zahra tidak bertemu Mas Gadzi kemarin siang di kantor?"

"Kak Gadzi dan Rheina mengambil cuti setengah hari. Jadi setelah jam istirahat mereka langsung pulang, Bu. Mungkin ada acara penting."

Ya, semuanya adalah Gadzi yang mengelola dan merupakan donatur utama untuk panti selain pendiri panti asuhan ini.

Zahra segera memesan taxi online untuk mengantar mereka ke rumah sakit. Zahra berusaha untuk tetap tenang. Dan terus mengusap lembut kepala Tiara yang bersandar di bahunya.

Baru teringat kalau Zahra belum menghubungi Gadzi agar segera mengirim uang ke panti. Jika saja Zahra sedang memiliki uang lebih, ia tidak akan seperti orang mengemis uang pada suami orang yang pada nyatanya setelah beberapa kali menghubungi Gadzi mau pun Rheina tetap saja tidak ada jawaban sama sekali.

Zahra tetap berusaha berpikiran baik pada mereka. Mungkin saja mereka sedang sibuk di kantor.

~~~~•••~~~~

Aku suka kepribadianmu, Ra.

Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang