~~~~•••~~~~
KERESAHAN yang dirasakan seorang Rheina akan masalahnya. Ia sangat takut Papanya akan mengetahui hal ini. Rheina tidak ingin pikiran Papanya semakin kalut dan akan mengganggu aktivitasnya dalam mengurus perusahaan, yang belakangan ini sedang sering di datangi client untuk menjalin kerja sama. Hingga pagi ini pun Rheina belum mengatakan apa pun pada Papanya mengenai kejadian kemarin siang. Ia tak acuh dengan Mamanya yang tak kembali ke rumah sampai detik ini.
Pagi buta Erik sudah mengenakan jas hitamnya dan siap meluncur dengan mobil mercedes hitamnya menuju kantor. Tidak biasanya Erik berangkat sepagi ini apa lagi ini tanggal merah. Biasanya Erik tetap berangkat di tanggal merah seperti hari ini. Sampai Rheina pun terburu-buru membuatkan sarapan untuk Papa tersayangnya. Sebagai satu-satunya orang tua yang masih peduli dengan Rheina.
"Pa .. Papa ini sarapannya sudah siap!" Katanya sambil berlari kecil membawa makanan untuk Papa.
"Terima kasih, Nak. Kamu sekarang pinter masak. Belajar sama siapa?" Puji Erik padanya.
"Emm .. Autodidak , P. Kan nggak baik juga jadi perempuan kok nggak pinter masak, ya kan, Pa!?" Katanya sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas untuk Papanya. Papa hanya mengangguk. Menikmati masakan Rheina yang rasanya belum sebanding dengan chef-chef profesional.
Tapi Erik sangatlah bersyukur memiliki Rheina. Meski dirinya tidak mendapatkan kasih sayang seorang ibu sepenuhnya akibat dari bisnis yang selalu Merry sayangkan ketimbang anaknya sendiri. Dan ternyata bisnis itu hanyalah penghianatan.
"Pa, seperti yang Rheina bilang semalam, hari ini Rheina jadi ikut Zahra ke panti, ya. Boleh, kan?"
"Boleh, Rhein. Kamu bawa apa ke panti?"
"Bagusnya apa, Pa. Emmm, yang bisa buat hadiah anak-anak di sana." Kata Rheina sambil mengetuk pelan dagunya.
"Terserah kamu, ini sedikit dari Papa semoga bisa untuk beli hadiah buat anak-anak panti. Papa harus berangkat sekarang." Kata Erik setelah makanannya tandas dan melirik jam tangannya yang melingkar epik di pergelangan tangan kirinya.
"Wah, ini beneran, Pa?" Kata Rheina dengan mata berbinar-binar melihat beberapa lembar uang seratus ribu yang disodorkan oleh Papanya. Lalu disusul dengan anggukan Papanya sebelum akhirnya Erik pergi meninggalkan Rheina.
Rhena bergegas membereskan rumah dan membersihkan diri sepeninggal Papanya. Selesai mandi hal yang tak biasa Rheina lakukan pun ia lakukan. Ia memoles sedikit wajahnya dengan bedak dan lipbalm berwarna natural. Biasanya Rheina tampil tanpa memoles wajahnya sekali pun.
Hari ini berbeda. Ia seperti akan bertemu dengan pengeran tampan yang belum lama ini ia mengenalnya dengan sebutan Kak Gadzi.
"Tuhan, apa aku terpesona dengannya?" Batinnya sambil merapikan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai.
Setelah itu ia berniat menghubungi sahabatnya, Zahra. Namun urung setelah Zahra menghubunginya lebih dulu.
"Halo, Ra? Baru mau aku telepon. Udah siap ya? Bentar lagi aku berangkat, kok." Kata Rheina sebelum Zahra berbicara, walau sekedar mengucap kata hallo.
"Em, Rhein, mundur setengah jam ya, ada sedikit problem. Nanti kamu bisa kesini jam delapan aja."
"Oh, tapi nggak batal kan acara hari ini? First time aku ke panti loh, Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔
Romance❗W A R N I N G❗ Cerita ini kemungkinan mengandung bawang. Unpublish sementara !! Sedang proses revisi !! "Sungguh indah agamaMu, ya Allah." Rheina Graceva. Satu shaf dibelakangnya adalah salah satu mimpinya setelah pertemuan dengan Fikran Gadzi A...