~~~~•••~~~~
JIKA memang sudah menetapkan suatu pilihan, maka yakinlah untuk mewujudkan pilihan itu. Mungkin itu yang saat ini sedang Gadzi pikirkan. Tapi bukan untuk sekarang, ia akan mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya pada gadis itu.
Dan ini adalah hari ke sekian Gadzi mendapatkan pasokan semangat untuk bekerja. Melihatnya bekerja dengan semangat, CEO muda itu pun seperti mendapat transfer semangat pula dari gadis itu.
"Yah, sesuai yang sudah kemarin sore kita bicarakan, insha Allah nanti malam Gadzi mau silaturahmi ke rumah Pak Erik..." katanya mengawali pembicaraan setelah selsai sarapan.
"Memangnya tadi malam kamu nggak jadi ke sana, Gadz?" Tanya ibu.
"Tadi malam Gadzi sebenarnya sudah mau ke sana, tapi si Fahri telfon katanya ada berkas yang harus ditanda tangani. Dari pada Fahri kesini jauh, sekalian Gadzi yang ke rumahnya mumpung udah di luar...."
"Modus kau, Bang." Goda Agna.
"Sembarangan...." ketus Gadzi."Sudah ayo berangkat, keburu siang. Assalamu'alaikum, Yah, Bu." Sambungnya setelah mencium tangan ayah dan ibu bergantian.
Agna pun melakukan hal yang sama dengan Gadzi. Meski ujian akhirnya telah usai, Agna masih diminta untuk datang ke sekolah guna mengembalikan beberapa buku paket yang diberikan pinjaman dari perpustakaan sekolah. Dan untuk menunggu pengumuman kelulusan, Agna harus menunggu kurang lebih satu bulan lagi.
Mobil Gadzi melesat membelah kabut pagi yang belum juga menghilang. Pagi ini suhu lebih dingin dari biasanya. Langit juga sedikit mendung, tapi semoga tidak hujan. Tapi tidak menjadi halangan bagi Gadzi untuk tetap berangkat sepagi ini. Meski sebenarnya jam kerja di mulai satu jam lagi.
"Bang!?"
"Hm?"
"Abang yakin?"
"Buat?"
"Sama dia..."
"Kenapa enggak? Kok kamu yang nggak yakin gitu, Dek?" tanya Gadzi heran.
"Dia terlalu cantik buat Abang, buat Agna aja dong..."
"Dih, adek nikung abang, durhaka..."kekeh Gadzi. "Udah sana, tuh udah ditunggu...itu temenmu, kan?"
"Reno..yaudah deh, nggak kasih uang saku buat Agna gitu, Bang??"
"Bukannya tadi udah dikasih sama ayah?"
"Itu kan ayah, abangnya belum...."alibinya.
"Hmmm...ni..."
"Heheh...tengkyu Abang, hati-hati dan selamat bekerja Pak Bos." kata Agna sebelum akhirnya berlari menghampiri Reno, temannya yang sudah duduk di bangku samping gerbang gedung sekolahnya.
~~~~•••~~~~
Mobilnya telah terparkir rapi. Dan kebetulan bersamaan dengan mobil Fahri. Senyum Gadzi tak bisa tertahan, entah mengapa. Ia biarkan saja Fahri dan Zahra yang berangkat bersama memasuki lobi untuk finger print lebih dulu. Menatap punggung kedua kakak beradik itu membuat senyum Gadzi merekah. Tidak ada orang yang tahu kalau Gadzi sedang dimabuk cinta dan senyum-senyum sendiri tidak jelas, karena memang dirinya masih stay di kursi kemudi mobilnya.
Setelah Gadzi melihat mereka antre untuk melakukan finger print, Gadzi baru keluar mobil dan segera antre juga. Ia sengaja melakukan itu. Tampaknya ini kali pertama Gadzi melakukan hal konyol. Modus.
"Pagi, Zahra..." Suara itu membuat Zahra spontan menoleh ke arah belakang.
"Pagi Kak...eh maksudnya Pak Gadzi...." katanya membalas dengan senyuman tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔
Romance❗W A R N I N G❗ Cerita ini kemungkinan mengandung bawang. Unpublish sementara !! Sedang proses revisi !! "Sungguh indah agamaMu, ya Allah." Rheina Graceva. Satu shaf dibelakangnya adalah salah satu mimpinya setelah pertemuan dengan Fikran Gadzi A...