~~~~•••~~~~
TURUT merasakan kehilangan pastinya atas kepergian orang tua sahabatnya. Zahra datang menemui Rheina. Tidak ada percakapan diantara keduanya selain dekapan hangat Zahra untuk Rheina. Rheina benar-benar menangis di pelukan Zahra.
"Rhein, aku tahu kamu kuat. Kamu masih punya Kak Gadzi. Kamu punya aku yang siap dengerin semua keluh kesah kamu. Kamu punya Abi sama Umi, mereka juga orang tuamu, Rhein.." Rheina masih menangis. Entah menangis hanya karena kepergian Papanya atau menangis penuh penyesalan atas apa yang pernah ia lakukan pada Zahra.
Tidak tahu. Yang tahu hanya Rheina sendiri dan Allah yang menguasai segala perasaan manusia.
Pemakaman sudah dilaksanakan kemarin siang. Dan ini hari kedua Rheina hidup tanpa Papanya di dunia ini. Dan meninggalnya Pak Erik membuat Gadzi membatalkan kepergiannya keluar kota. Rencananya ia akan pergi jika nanti keadaan Rheina benar-benar sudah baik-baik saja.
Zahra setiap pagi sebelum berangkat ke kantor dan sekembalinya dari kantor selalu menemui Rheina. Berharap bisa memberikan kekuatan pada sahabatnya.
"Makasih ya, Ra. Kamu memang sahabat aku satu-satunya yang paling biak. Yang paling bisa ngertiin aku." Rheina bangkit dan mengusap pipinya yang basah. Membuat Zahra tersenyum.
"Ra,.. "
"Iya, Rhein."
"Kamu malam ini jangan pulang, ya. Temenin aku disini." Pintanya.
"Rhein.." Zahra tersenyum sambil memegang bahu Rheina, "maaf... Bukannya aku nggak mau temenin kamu. Tapi aku harus pulang. Ada Abi di rumah yang juga butuh aku... Insya Allah kalau ada waktu akan sering-sering kok kesini." Kata Zahra.
"Tapi untuk aku, bukan untuk bertemu Gadzi," katanya dalam hati. Entah mengapa Rheina masih saja risau ia akan kehilangan Gadzi karena Zahra. Padahal Zahra tidak pernah menghubungi Gadzi selain masalah pekerjaan.
Tak lama dari itu Zahra berpamitan pulang kepada semua orang yang ada di tempat itu. Karena waktu sudah semakin sore. Awalnya Gadzi ingin mengantarkan Zahra, setidaknya membuntuti Zahra dari belakang dengan kendaraan masing-masing. Tapi Zahra menolaknya setelah melihat tangan Rheina yang menggenggam erat lengan Gadzi.
"Rheina masih butuh Kak Gadzi."
"Tapi Rhein, ini udah gelap." Rheina tetap menggelengkan kepalanya dengan senyuman.
"Kalau gitu aku pulang dulu, ya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam, makasih, Ra."
Hari semakin gelap. Satu persatu orang-orang mulai meninggalkan rumah itu. Termasuk orang tua Gadzi. Tinggallah Gadzi dan Rheina.
Melihat istrinya sedih tentu saja Gadzi sebagai suaminya ikut merasakan apa yang istrinya rasakan.
"Rhein, ayo ikut aku."
"Kemana, Mas?"
"Ke suatu tempat."
"Kemana?"
"Ayo. Ikut aja. Jangan sedih lagi, ya. Ikhlaskan Papa. Insya Allah, Papa akan diberikan tempat terbaik sama Allah." Rheina mengangguk.
Selepas solat maghrib mereka berdua pergi. Tujuan Gadzi hanyalah untuk menghilangkan rasa sedih pada Rheina. Mereka pergi ke tempat yang pernah mereka kunjungi waktu itu.
Tempat yang sama saat Rheina terang-terangan mengatakan cinta pada Gadzi. Dan langit malam yang menjadi saksinya.
Kebetulan tempat itu malam ini tidak terlalu banyak pengunjung. Mungkin bisa menjadi kesempatan Rheina untuk bercerita di sini.
"Kenapa ke sini?"
"Kamu suka tempat ini, kan?" Rheina mengangguk.
Tangan Gadzi mulai menggenggam lebih erat tangan Rheina. Kemudian membawanya ke sebuah bangku. Dimana siapa pun yang duduk di sana pasti akan terpesona dengan keindahan pemandangan malam.
Kepala Rheina menyandar di bahu Gadzi. Gadzi dengan lembut mengusap kepala istrinya yang terbalut jilbab dengan penuh kasih sayang. Beberapa saat tidak ada percakapan antara mereka berdua.
"Kenapa selalu aku yang kehilangan kebahagiaan?" Celetuk Rheina membuat Gadzi spontan membangunkan tubuh Rheina.
"Apa kamu nggak bahagia hidup denganku?" Tidak ada jawaban setelah ini.
"Dulu aku merasa akulah yang paling beruntung. Tapi pada akhirnya Mama pergi ninggalin aku dan Papa..."
"Lalu papa pernah bangkrut yang membuat aku nyaris berhenti kuliah. Dan Papa pernah berbohong, itu semua demi aku. Demi membiayai pendidikanku."
"Dan akhirnya aku ketemu kamu, Mas. Itu cukup mengobati semua lukaku di masa lalu. Tapi sekarang, Tuhan mengambil Papa secepat ini. Aku kembali kehilangan kebahagiaan." Pipi Rheina telah basah karena air mata.
"Rheina. Sayang...." Sayang. Adalah satu kata yang jarang keluar dari mulut Gadzi. Dan ini kali kedua Gadzi mengucapkannya untuk Rheina.
Rheina menatap Gadzi.
"Sekarang aku nggak punya apa-apa. Aku sendiri."
"Rheina, kamu nggak ingat siapa yang ada di samping kamu sekarang. Kamu punya aku Rhein. Hidupku buat kamu. Kamu punya Ayah, kamu punya Ibu. Ada Agna yang selalu buat kamu jengkel, tapi dia sayang sama kamu Rhein... Dan kamu masih punya.." kalimat Gadzi terjeda.
"Zahra," dengan suara pelan Gadzi mengucap nama Zahra di depan Rheina. Rheina kemudian berhamburan di pelukan Gadzi. Sambil menitikkan air mata.
Rheina memanglah orang yang beruntung. Selalu dikelilingi orang-orang baik, terlebih lagi Zahra yang sampai saat ini rasa sayangnya tak berubah untuk Rheina.
"Terima kasih, Mas. Aku bahagia punya kamu."
"Iya. Sudah jangan nangis lagi. Sekarang kita makan yuk. Kamu laper, kan?"
Rheina mengangguk diikuti senyuman yang kembali muncul di wajahnya. Gadzi pun ikut tersenyum melihat senyum Rheina yang kembali lagi.
Sehidup semati adalah prinsip Gadzi untuk Rheina sekarang. Sepertinya ia sudah cinta sepenuhnya dengan Rheina. Tapi entahlah. Gadzi saja tidak tahu, karena ia pun masih memiliki perhatian untuk Zahra meski itu hanya perhatian kecil.
~~~~•••~~~~
Witting tresno jalaran saka kulino
Rasa cinta akan muncul karena terbiasa.Double up sesuai permintaan, ya:)
Terima kasih bintangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔
Romantizm❗W A R N I N G❗ Cerita ini kemungkinan mengandung bawang. Unpublish sementara !! Sedang proses revisi !! "Sungguh indah agamaMu, ya Allah." Rheina Graceva. Satu shaf dibelakangnya adalah salah satu mimpinya setelah pertemuan dengan Fikran Gadzi A...