~~~~•••~~~~
MEREKA melangkahkan kakinya memasuki gedung yang memiliki aroma obat-obatan. Tapi mengingat Zahra sedang menggendong Putri, ia memilih untuk menunggu di luar ruangan dimana Rheina di rawat.
Zahra dan Agna duduk di kursi tunggu. Sementara Putri tertidur dalam dekapan hangat Zahra. Sementara Ibu masuk untuk menemui Gadzi dan melihat keadaan Rheina. Tanpa sadar air mata Zahra mengalir dan jatuh tepat di pipi bayi mungil itu.
Kesedihan yang luar biasa bagi Zahra yang kembali melihat sahabatnya terbaring lemah di rumah sakit setelah beberapa tahun lalu Rheina juga seperti ini. Rasanya Zahra ingin mencium anak Rheina.
Em, lebih tepatnya adik Rheina. Karena sebenarnya bayi itu memanglah anak dari Tante Merry. Zahra tahu hal ini, karena ia sempat membaca sebuah surat dari bayi itu. Tapi Zahra tidak memberitahukan ini pada Rheina karena Zahra yakin, Rheina akan mengetahui ini dengan sendirinya. Apa lagi nama bayi itu pun sama dengannya.
Bahkan ia sempat tak sengaja melihat Tante Merry yang sedang mengunjungi panti asuhan dimana ia menitipkan bayinya. Terlihat ia membawakan susu untuk putrinya. Tapi Zahra tidak berani menyapa. Setelah hari itu Tante Merry tidak pernah lagi mengunjungi anaknya.
Kenapa Zahra bisa tahu?
Kebetulan saat itu Zahra sedang ada di sana. Ia juga sudah sangat dekat dengan anak-anak di sana. Untuk mengisi waktu luangnya pun Zahra sering sekali membantu kakak sepupunya mengurus panti itu.
Perasaan Rheina selama ini memang tidak salah dan apa yang ia lihat memang benar. Tapi ia tetap menyembunyikan ini dari Gadzi karena ia tidak ingin mengingat betapa menyedihkannya ia dulu. Sekarang ia sudah bahagia dengan Gadzi.
Gadzi dan Bu Rini keluar ruangan dengan wajah yang masih terlihat sedih. Zahra masih mencium Putri sehingga ia tidak tahu kalau Gadzi dan Ibu sudah berdiri di hadapannya.
"Ra!?"
"Eh.. Iya. Kak maaf," Zahra meminta maaf dengan maksud ia sudah lancang mencium Putri tanpa ada izin dari orang tuanya.
"Nggak papa. Makasih, ya!?" Zahra mengangguk kemudian menanyakan keadaan Rheina.
"Rheina kena meningitis. Selama ini dia nggak tahu kalau ada penyakit lain yang bersarang di tubuhnya. Tiap hari Rheina cuma mengonsumsi obat migrainnya aja. Karena rasanya hampir sama. Sampai.... " Gadzi mengatakan itu dengan tatapan kosong.
Ibu mengusap bahu kekar Gadzi dengan lembut. Bertujuan memberikan dukungan pada Gadzi agar tidak terlalu terpuruk karena ujian ini.
Zahra kembali meneteskan air matanya. Ia benar-benar takut kehilangan sahabat baiknya. Hatinya terus memanjatkan doa untuk Rheina. Putri masih butuh Rheina.
"Kak, boleh aku lihat Rheina?" Gadzi mengangguk dan mengambil alih Putri dari dekapan Zahra.
Melihat pemandangan itu, Ibu merasakan kehangatan. Entah mengapa harapannya untuk Zahra tidak pernah hilang.
"Kalau aja...." batin Ibu. Tapi Ibu tak melanjutkannya. Ibu tidak boleh menyesali bahwa Rheinalah yang menjadi menantunya.
Zahra duduk di samping Rheina yang masih terlelap. Berlahan ia meraih tangan Rheina yang lemah. Sambil terus membisikkan doa di dekat telinga Rheina. Zahra yakin, sahabatnya akan mendengar.
"Rhein... Aku sayaaang banget sama kamu. Kamu sehat, ya. Kasihan Putri. Putri butuh kamu. Kak Gadzi butuh kamu. Aku pun masih butuh kamu."
"Rhein, kamu tahu? Sebenarnya Putri itu adikmu. Putri itu anak Tante Merry. Semoga kamu tahu hal ini, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔
Romance❗W A R N I N G❗ Cerita ini kemungkinan mengandung bawang. Unpublish sementara !! Sedang proses revisi !! "Sungguh indah agamaMu, ya Allah." Rheina Graceva. Satu shaf dibelakangnya adalah salah satu mimpinya setelah pertemuan dengan Fikran Gadzi A...