24. Pengakuan dan Luka (Lagi)

565 38 2
                                    

~~~~•••~~~~

HARI Senin. Mungkin menjadi hari itu yang menyebalkan bagi kebanyakan orang. Hari dimana umat manusia kembali melakukan kegiatan hariannya. Bekerja, sekolah.Tapi kita tidak sepatutnya membenci hari itu. Karena Rasulullah SAW. pun lahir pada hari Senin. Apa yang perlu dibenci. Tapi kalau sebenarnya kita sudah jatuh cinta pada apa kegiatan kita, apa pekerjaan kita, pasti tidak akan ada keluhan "yaah...besok Senin..sebel deh..."

Berbeda dengan Rheina yang semangat sekali karena ia memang sudah cinta dengan pekerjaannya yang belum lama ini. Falling love with what you do. Adalah motto seorang Rheina Graceva.

Dan hari ini ia semakin semangat lagi karena ia akan bertemu Zahra. Seperti yang pernah dijanjikan beberapa waktu lalu ia ingin bercerita pada Zahra. Setelah jam kerja tentunya.

Tapi ada satu hal yang membuatnya sedikit sumpek.

Tanpa menghiraukan itu ia fokus mengendarai mobilnya. Papanya sudah lebih dulu menuju kantor dengan mobil sendiri.

Perjalanan yang tak begitu panjang. Mobilnya telah terparkir rapi di samping mobil yang ia kenal. Setiap kali melihat benda-benda yang bersangkutan dengan pria yang dicintainya, bibirnya selalu memunculkan lengkungan tipis. Seperti ada kebahagiaan tersendiri di sana. Apalagi jika pemiliknya langsung. 

Jam kerja telah tiba.

Seluruh isi ruangan itu terlihat khusyu dengan pekerjaannya masing-masing. Kecuali Rheina yang sejak tadi terlihat gelisah entah kenapa. Sesekali ia melirik sahabatnya yang tengah fokus bekerja.

"Ra..."

"Hmm..." Zahra bergumam lirih tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer yang ada di depannya.

"Nanti....jadi, kan?"

"Iya, pas makan siang aja..."

"Ok."

Rheina kembali dengan pekerjaannya dan masih berusaha untuk fokus. Inilah Rheina, padahal ia hanya ingin bercerita dengan sahabatnya sendiri, ia sampai memikirkan ini dari tadi malam yang juga tak kunjung enyah dari otaknya sampai saat ini. Sehingga pekerjaannya pun sedikit terganggu.

Mungkin kali ini yang akan ia ceritakan sedikit berbeda. Ini menyangkut perasaan dan hatinya.

~~~~•••~~~~

"Ra..menurutmu gimana caranya mengutarakan perasaanku ini...." kata Rheina dengan gaya manja memeluk lengan Zahra yang sedang menikmati makan siangnya.

"Hmm...emang siapa, sih?" Zahra menjeda kegiatan makannya untuk menanggapi pertanyaan Rheina yang mungkin membuatnya sesak dada. Karena sebenarnya Zahra pun sudah mengetahui bahwa sahabatnya itu mencintai orang yang sama dengan yang Zahra cintai.

"Utarakan perasaanmu pada Allah,..." lanjutnya.

"Kamu tahu siapa, Ra?" Zahra menggelengkan kepalanya pelan. Akan lebih baik ia pura-pura tidak tahu saja. Dan menghindari sifat suudzan.

"Ternyata aku benar-benar jatuh cinta, Ra...mungkin nggak ya....aku hidup sama manusia sempurna itu...." kata Rheina sambil membayangkan betapa bahagianya ia ketika pria itu hidup bersamanya.

"Tidak ada yang sempurna, Rhein...kecuali Allah..."Zahra menghela nafas lalu tersenyum tulus di depan Rheina, kemudian berkata,"tidak ada yang tidak mungkin, asalkan kamu terus usaha dan memperbaiki dirimu...berharaplah hanya kepada Allah, Rhein..."

Hening sejenak. Zahra menghabiskan minumannya yang tinggal setengah gelas itu.

"Gadzi....." kata Rheina tiba yang suaranya hampir tidak terdengar.

"Uhuk-uhuk..." Entah kenapa mendengar nama yang keluar dari mulut Rheina, Zahra sampai tersedak. Padahal ia berusaha ikhlas dengan perasaannya yang mungkin tak akan terbalas ini.

"Pelan-pelan minumnya, Raa...." Rheina menepuk bahu Zahra pelan-pelan kemudian memberinya tisu.

Ini mungkin memang berat bagi Zahra. Karena ia lebih memilih untuk menyimpan perasaan ini tanpa ada satu pun orang yang tahu, termasuk orang-orang terdekatnya. Kecuali hanya Allah yang Maha Mengetahui, betapa hancurnya perasaan Zahra saat ini dan sebelum ini, setelah ia tahu bahwa Gadzi telah menempatkan satu nama di hatinya.

Tidak, Zahra tidak boleh menangis hanya karena hal seperti ini. Zahra kuat. Ia terus mensugesti dirinya.

"Gimana, Ra?"

"Seperti yang kubilang, utarakan perasaanmu lewat Allah, insha Allah kamu tidak akan kecewa...jangan sampai kamu merasakan kepedihan sebuah pengharapan, karena kamu tidak melibatkan Allah dalam setiap urusanmu...."

"Iya, Ra..."

Ini adalah settingan Allah yang tidak salah. Allah mengizinkan Gadzi mengetahui hal ini. Gadzi tidak sengaja mendengar perbincangan kedua wanita itu tanpa sepengetahuan mereka sehingga ia mengurungkan niatnya menghampiri kedua wanita itu. Kebetulan Gadzi sedang membeli minuman sendiri di kantin. Dan posisi duduk Rheina dan Zahra membelakanginya, otomatis mereka tidak akan tahu jika pria yang sedang mereka bicarakan sedang di sana.

Pikiran Gadzi semakin tak karuan. Padahal sebentar lagi ia akan mewujudkan niat dan tekadnya yang sudah bulat. Dan qadarullah, ia tak sengaja mendengar kalimat Rheina itu membuatnya harus berfikir ulang untuk niatnya. Tapi, apa salahnya jika ia tetap melakukan apa yang sudah ia rencanakan jauh-jauh hari.

Gadzi meninggalkan kantin sebelum Rheina dan Zahra mengetahui keberadaannya. Karena waktu istirahat pun sudah hampir habis dan aktivitas kerjanya pun akan berlanjut sampai nanti pukul lima belas.

~~~~•••~~~~

"Kenapa sih, Ra?"

Sejak selesai sholat ashar tadi Zahra tidak bersuara sama sekali. Membuat Fahri, sebagai kakaknya pun merasa khawatir dengan sikap adiknya yang tiba-tiba menjadi diam seribu bahasa.

Tanpa menoleh ke arah belakang dan mengabaikan pertanyaan Bang Fahri, Zahra terus berjalan menuju mobil Fahri.

Di perjalanan pun Zahra masih diam tanpa menghiraukan kalimat-kalimat dan pertanyaan-pertanyaan dari Fahri. Sampai pada akhirnya Fahri menghentikan mobilnya dan.....

"Eh, kok nangis?" Hal yang tidak biasa bagi Fahri melihat adik perempuan satu-satunya menangis seperti ini. Zahra menyingkirkan tangan Fahri yang tadi menyentuh pipinya.

"Kenapa? Ada masalah? Cerita dong sama abang....jangan kaya gini. Kamu itu nggak pernah nangis tiba-tiba nangis...di depan abang, lagi."

"Enggak, Bang...i'm Ok." Zahra mengusap  pipinya yang basah.

"Jangan bohong sama, Abang Raa...."

"Nanti abang akan tahu sendiri. Udah, ayo pulang, Umi udah nungguin.."

Meski sebenarnya geram dengan sikap Zahra yang menyembunyikan masalahnya, Fahri tetap menuruti permintaan Zahra. Ia menginjak gas untuk pulang, toh hari juga sudah semakin sore. Dan mungkin apa yang dikatakan Zahra itu benar, ia akan tahu dengan sendirinya tanpa harus memaksa Zahra bercerita sekarang.

~~~~•••~~~~

Alhamdulillah, up date

Jumat berkah ya gaees. Jangan lupa vote dan tunggu chapter panasnya walau udah semakin ngga jelas nata kalimatnya🙏maklum masih amatir.

#staysafe

Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang