~~~~•••~~~~
RHEINA masih terus bertanya-tanya. Mengapa tiba-tiba Gadzi menepikan mobilnya dan berhenti, kemudian pergi meninggalkannya sendiri. Mungkin saja karena sudah malam, dan Gadzi tahu Rheina sudah cukup lelah untuk menghabiskan waktunya hari ini hingga larut malam.
"Siapa, sih?" Rheina menyipitkan matanya berharap ia tahu siapa yang diajak Gadzi berbicara. Nyatanya ia tidak melihatnya sama sekali karena sebagian tertutup tiang listrik yang berdiri tegak di sana.
Rheina menurunkan kaca mobil, dan tetap saja ia tidak bisa tahu siapa orang itu. Dan mengapa Gadzi mendekatinya.
Cukup lama Rheina menunggu di mobil dengan mata terkantuk-kantuk. Tapi ia tidak ingin memejamkan matanya sebelum ia tahu siapa orang yang berbicara dengan suaminya itu.
"Kayaknya aku harus keluar, deh." Rheina melepas seat beltnya. Kemudian membuka pintu. Tapi tiba-tiba ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk di ponsel Rheina. Sebenarnya pesan itu sudah satu jam yang lalu dikirim oleh si pengirim pesan. Karena sinyal yang tidak mendukung, pesan itu baru saja masuk.
Kemudian Rheina mengusap layar ponselnya terdapat tiga panggilan tak terjawab dan sebuah pesan dari Zahra, sahabatnya. Tapi ia tidak membuka pesan itu dan hanya membaca beberapa kalimat saja yang berisi salam dan kabar dari panti asuhan untuk selengkapnya Rheina enggan membaca. Lebih parahnya lagi Rheina menghapus pesan itu dan beberapa riwayat panggilan yang tidak terjawab dari Zahra.
Rheina teringat ponsel Gadzi yang sedari tadi mati. Kebetulan ponsel suaminya ditinggal di mobil, sehingga Rheina berinisiatif menyalakannya. Mungkin saja baterainya sudah penuh karena sudah lama Gadzi mencharger ponselnya.
Dan benar dugaan Rheina. Zahra juga menghubungi Gadzi yang notabenenya adalah ketua dari Komunitas Cinta Sesama. Rheina melakukan hal yang sama. Menghapus pesan dari Zahra dan riwayat panggilannya yang tak terjawab juga.
Mengapa Rheina melakukan itu?
"Panti mulu, kapan Mas Gadzi ngajak liburan kalau kaya gini terus. Kerjaan kantor aja nggak kelar-kelar." Ucapnya dengan nada kesal. Kemudian ia kembali mematikan ponsel Gadzi dan meletakkannya di posisi semula. Kemudian ia turun dan mendekati Gadzi yang sedari tadi sedang mengobrol dengan seseorang.
"Mas?"
"Rhein,"
"Siapa?" Tanya Rheina kemudian duduk di samping Gadzi.
Seorang anak laki-laki kira-kira berusia sepuluh tahun duduk sendiri di bangku itu. Entah apa yang terjadi padanya sehingga sampai larut malam anak itu belum juga kembali ke rumahnya.
"Dek, ini istri om, namanya Tante Rheina. Kamu nggak usah takut, Tante baik, kok." Ucap Gadzi lembut sambil mengusap kepala anak itu.
Mimik wajah anak itu sedikit takut dengan kehadiran Rheina di sana. Entah mengapa?
"Rhein, ini Leo. Katanya dia mau cari rumah orang tuanya yang ada di, jalan mana tadi, Dek?"
"Jalan Pelita, Om." Jawab anak itu.
"Loh, kok kamu cari rumah orang tua kamu? Memangnya kamu tinggal dimana?" Rheina berpindah tempat duduk, sekarang ia duduk di samping anak yang malang itu.
"Aku tinggal sama Om dan Tante. Tapi aku nggak betah di sana, aku sering kena marah mereka," kata anak itu. Rheina menatapnya miris.
"Terus kenapa kamu nggak tinggal sama orang tuamu aja, dek?"
"Kata Mama dan Papa, aku suruh tinggal sama Om sama Tante, mereka mau cari kerja, Tante."
"Emm..Dek ini kan sudah malam, kamu ikut Om ya? Ke rumah Om. Besok kalau udah terang, Om sama Tante antar kamu ke alamat itu." Tawar Gadzi dengan nada bicara sangat lembut.
"T-tapi, Om?"
"Tidak apa-apa, Dek. Kamu pasti capek juga kan? Istirahat di rumah Tante sama Om. Om Gadzi beneran besok mau antar kamu, ya kan, Mas?" Gadzi mengangguk dan tersenyum. Kadar ketampanannya meningkat seketika.
"Ayo, Dek."
"Om, Tante terima kasih, ya!?"
"Iya sama-sama," kata Gadzi yang kembali mengusap kepala anak itu.
Mobil Gadzi kembali menembus jalanan malam yang udaranya cukup dingin. Dengan membawa anak malang itu ke rumahnya. Kepedulian Gadzi dengan sesama tidaklah berubah walau pun ia sudah memiliki tanggung jawab yang lebih utama, yaitu Rheina.
Tapi satu hal, Gadzi benar-benar tidak mengetahui jika Zahra mengirimkan sebuah pesan yang sudah Rheina hapus. Begitu pun Rheina yang tidak memberitahunya sama sekali.
"Dek, kamu udah makan?"
"Belum, Tante."
"Ini ada roti, kamu makan ya. Biar nanti sampai rumah kamu tinggal tidur aja," Rheina menyodorkan roti itu.
"Iya, terima kasih banyak Tante. Tante sama Om baik, ya."
"Sudah seharusnya seperti itu, Dek. Kita sebagai manusia harus memiliki kepedulian tinggi dan saling tolong menolong. Karena Tuhan sangat menyukai orang yang baik." Jelas Gadzi. Anak itu hanya mengangguk seraya melahap roti pemberian Rheina. Sementara Rheina tersenyum memandang anak itu kemudian beralih menatap suaminya yang sangat tampan. Apa lagi dengan perbuatannya yang membuat Rheina semakin jatuh cinta.
"Kapan ya, Allah kasih kita anak?"
"Sabar, Rhein. Kita harus tetap berusaha dan berdoa, dan memperbaiki diri dulu. Jangan sampai kita salah dan mendidik anak," kata Gadzi.
"Iya, Mas."
Enam bulan lamanya Rheina dan Gadzi menanti kepercayaan Allah terhadap mereka dimana nanti mereka akan pantas disebut orang tua yang baik.
Sesampainya di rumah Rheina mengantarkan anak itu ke kamar untuk anak itu istirahat. Rheina juga memberikan beberapa baju ganti yang ia ambil dari sumbangan untuk panti. Tentunya karena Gadzi yang menyuruhnya untuk mengambil dari sana.
"Dek, ini ada baju ganti, kamu ganti baju biar tidurmu nyaman, ya!?"
"Makasih, Tante."
"Kalau gitu Tante juga mau istirahat. Tidur yang nyenyak, ya." Anak itu mengangguk dan terus memperhatikan Rheina sampai ia menghilang dibalik pintu kamar.
"Kasihan, anak itu. Em...Mas, besok kalau kamu mau antar Leo cari orang tuanya, aku boleh ikut?"
"Boleh, besok pagi kita nggak usah ke kantor dulu, ya setidaknya sampai Leo bertemu orang tuanya. Kasihan kalau dia harus sendiri cari orang tuanya," kata Gadzi.
"Iish..aduh...." Rheina memegangi kepalanya. Ya, migrennya kembali menyerang.
"Kenapa?" Dengan sigap Gadzi menopang tubuh Rheina yang hampir terjatuh.
"Kayanya migrainku kumat, Mas. Sakit benget," rintihnya.
"Ya sudah ayo kita ke rumah sakit sekarang!?"
"Nggak usah, Mas. Tolong ambilkan obatku aja nanti juga ilang." Gadzi segera melakukan apa yang Rheina katakan.
"Makasih, Mas." Gadzi membantunya minum obat kemudian membaringkannya. Dengan lembut Gadzi mengusap kepala istrinya yang sudah tidak terbalut kain lagi.
"Selamat istirahat, ya Rhein!?"
~~~~•••~~~~
Hm hm hm hm hm....
Apa komentar kalian ke Rheina?
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔
Romance❗W A R N I N G❗ Cerita ini kemungkinan mengandung bawang. Unpublish sementara !! Sedang proses revisi !! "Sungguh indah agamaMu, ya Allah." Rheina Graceva. Satu shaf dibelakangnya adalah salah satu mimpinya setelah pertemuan dengan Fikran Gadzi A...