42. Berpaling

483 27 2
                                    

~~~~•••~~~~

PERTANYAAN yang sama terus dilontarkan pada Rheina. Untuk memastikan bahwa Rheina benar-benar baik-baik saja. Gadzi hanya tidak ingin, jika nanti terjadi sesuatu pada Rheina ia yang akan repot sendiri.

Bukan karena ia tidak peduli dengan Rheina. Pasalnya, perjalanan masih jauh untuk menuju alamat itu. Sedangkan ia juga sedang membawa anak orang.

"Iya, Mas... Aku udah baikan kok, " katanya sambil tersenyum teramat manis kemudian meraih tangan Gadzi.

Sepanjang perjalanan Rheina terus menggenggam tangan sang suami. Seakan-akan ia tak mau kehilangan pria impiannya. Tapi, ingatlah bagaimana Gadzi berjanji kepada Allah.

Meski pun cintanya belum sepenuhnya untuk Rheina, setidaknya ia tidak terlalu menunjukkan itu. Bahkan merendahkan istrinya. Ia tetaplah menjaga perasaan Rheina. Bukankah Allah Sang Maha membolak-balikkan hati hambaNya?

Jalan raya yang tak begitu ramai, membuat Gadzi sedikit santai mengemudi mobilnya. Selama perjalanan setelah beberapa kali Gadzi menanyakan keadaan Rheina, tidak ada percakapan lagi.

Sampai pada akhirnya Leo memecah keheningan. Tenggorokannya terasa kering. Sebenarnya ia ingin minta minum pada dua orang yang ia sebut Om dan Tante itu. Tapi ia merasa tak enak jika harus merepotkannya. Sayangnya rasa hausnya mendorongnya untuk berani berbicara pada Gadzi.

Kenapa tidak pada Rheina?

Entah mengapa sejak kemarin malam, saat ia pertama kali bertemu dengan Gadzi dan Rheina, ia sedikit merasa tidak suka dengan istri Gadzi. Padahal sikap Rheina cukup baik dengan Leo. Karena sudah memberinya baju baru dan kamar untuk ia beristirahat semalam.

"Om Gadzi, maaf. Aku boleh minta minum?" Katanya masih dengan perasaan setengah berani dan tidak. Bukan dengan Gadzi, tapi dengan Rheina.

"Oh...boleh, dong. Rhein kamu bawa minum?"

"Astaga, aku lupa bawain minuman. Apa beli aja kali ya, Mas. Depan situ kayaknya ada minimarket." Ucap Rheina.

"Beli dulu ya, Leo!?" Leo hanya mengangguk perlahan.

Gadzi menepikan mobilnya tepat di depan pelataran minimarket yang cukup luas itu. Kemudian melepas seat beltnya.

"Biar aku aja yang turun," kata Gadzi sambil meraih uang yang baru saja Rheina keluarkan dari dompet Gadzi.

Membeli air mineral, bagi Gadzi adalah salah satu kesempatan untuk menanyakan alamat yang sedang mereka cari.

"Bu, air mineral tiga botol, ya!? Kalau ada yang dingin, Bu."

"Ya, Mas. Tunggu sebentar." Si penjual langsung mengambilkan air minum dalam kulkas.

"Sama apa lagi, Mas?"

"Roti ini aja, deh Bu, " Gadzi mengambil satu bungkus roti berukuran besar yang berada di rak di sampingnya.

"Jadi, berapa, Bu?"

"Dua puluh lima ribu." Kemudian Gadzi memberikan uang kepada si penjual.

"Kembali du-"

"Sudah, Bu tidak usah. Oh, iya sekalian Bu, mau numpang tanya. Kalau Jalan Pelita dari sini masih jauh, ya Bu?"

Sementara Gadzi sedang berbincang-bincang dengan Ibu-ibu penjaga toko itu, Rheina dan Leo juga sedang berbincang-bincang. Mengenai pendidikan Leo, dan lain sebagainya.

Perbincangan tadi membuat Leo lebih merasa nyaman dengan Rheina. Leo merasa takut dengan Rheina, mungkin karena Rheina masih bersikap cuek padanya.

"Terus, sekarang kamu sekolah dimana?"

"Di SD Tunas Bangsa, Tante. Tapi aku sering nggak masuk sekolah sejak tinggal sama mereka dan pindah sekolah."

"Kenapa?" Tanya Rheina sembari membenarkan posisi duduknya.

"Om sama Tante nggak pernah kasih aku uang saku, Tante. Jadi aku harus kerja. Gimana buat bayar sekolah dan beli buku kalau aku nggak kerja," kata Leo. Membuat hati Rheina merasa sakit.

Ternyata masih beruntung dirinya. Di saat ia masih seusia Leo, setidaknya ia masih tinggal bersama kedua orang tuanya. Kebutuhannya masih dicukupi oleh orang tuanya. Bersyukurlah Rheina ketika terlahir di dalam keluarga yang berada.

Walau pun saat ia beranjak dewasa kedua orang tuanya tertimpa masalah besar yang berujung perceraian. Papanya bangkrut, membuat hidup Rheina sedikit kacau.

Tapi itu dulu. Sejak bertemu Gadzi dan memeluk agama Islam kehidupannya kembali damai. Lambat laun kejadian menyakitkan itu luntur begitu saja.

Saat Leo dan Rheina masih asyik menceritakan kehidupan satu sama lain, tiba-tiba ponsel Gadzi yang memang diletakkan di atas dasbor mobil bergetar.

Rheina melongok ponsel itu. Melihat siapa yang berani menghubungi suaminya yang menjabat sebagai CEO perusahaan saat ia mengambil cuti hari ini.

Saat tahu itu adalah panggilan dari Zahra, Rheina sama sekali tidak mengangkatnya. Misalnya saja Rheina mereject panggilan itu, Zahra pasti berpikiran aneh-aneh pada Gadzi.

Jadi Rheina hanya perlu menunggu dering itu berhenti. Setelah itu ia mengaktifkan mode pesawat pada ponsel Gadzi, kemudian menghapus riwayat panggilan yang tak terjawab.

Rheina hanya tidak ingin harinya bersama Gadzi terganggu oleh orang lain. Dan hari ini adalah kesempatannya untuk pergi jalan-jalan bersama sang suami. Rheina benar-benar jenuh jika Gadzi terus bergelut dengan pekerjaannya.

"Kok nggak diangkat, Tante?"

"Nggak penting kok. Kan hari ini Om Gadzi lagi cuti, masa ada kerjaan. Hari ini tugas Om Gadzi sama Tante cuma antar kamu buat ketemu sama orang tua kamu," kata Rheina sambil mengusap kepala Leo.

Tak lama dari itu Gadzi kembali dengan membawa tentengan berisi air mineral dan roti yang sudah ia beli.

"Jalan Pelita kata yang jual di toko itu masih sekitar dua kilo lagi."

Tanpa lama-lama, setelah meneguk air putih Gadzi kembali melajukan mobilnya. Dan benar saja kata sang penjual tadi, hanya dalam waktu kurang dari tiga puluh menit mereka sampai pada alamat yang dicari.

Allah selalu menolong hambaNya yang membutuhkan pertolongan. Allah mempermudah jalan mereka. Leo kembali bertemu dengan kedua orang tuanya.

Setelah pertemuan yang cukup mengharukan itu, Rheina dan Gadzi segera kembali ke rumah. Karena hari sudah hampir gelap.

Perjalanan yang cukup jauh membuat keduanya langsung membaringkan tubuhnya di kasur empuk itu sesampainya di rumah.

"Mas, kita kan ambil cuti dua hari. Gimana kalau kita besok liburan aja. Mau nggak?"

"Kemana memangnya?"

"Kemana aja deh. Terserah kamu yang penting sama kamu." Kata Rheina dengan sikap manjanya.

Gadzi memanglah suami yang baik. Ia tidak pernah menolak permintaan istrinya, selama itu tidak menimbulkan mudzarat. Gadzi benar-benar mengajak istrinya pergi berlibur dihari kedua mereka cuti.

~~~~•••~~~~

Nggak ngerti lagi deh sama Rheina.

Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang