35. Khitbah Kedua

565 35 2
                                    

~~~~•••~~~~

ADAKAH wanita seperti Zahra? Adakah sahabat sebaik Zahra? Walau pun saat ini Zahra masih harus belajar mengikhlaskan sesuatu yang ia inginkan tapi tidak ditakdirkan untuknya. Mungkin ini adalah salah satu jalan terbaik Allah. Allah tahu apa yang ia butuhkan. Karena Allah akan memberikan apa pun yang dibutuhkan bukan yang diinginkan hambaNya. Karena sebuah keinginan jika didapatkan bisa jadi akan menimbulkan mudzarat, bahkan menemui kesengsaraan sampai kesesatan.

Zahra hanya mengharapkan yang terbaik untuk dirinya, terutama untuk Gadzi yang akan menjemput jodohnya. Gadzi bukanlah orang lain untuk Zahra. Bahkan Zahra sudah menganggapnya sebagai kakak laki-laki selain Fahri. Sekaligus Gadzi adalah cinta pertamanya yang harus segera ia lupakan dan hilangkan rasa itu.

Sementara Gadzi yang saat ini sedang merasa gelisah. Entah mengapa ia takut gagal lagi. Tidak ada sahutan sama sekali setelah beberapa kali menekan tombol bel rumah Pak Erik.

"Sabar, Nak!" Sang Ibu dengan lembut mengusap bahu Gadzi sambil tersenyum. Ibu yakin semua akan baik-baik saja. Allah sesuai dengan prasangka hambaNya.

"Iya, Bu."

Gadzi kembali menekan tombol bel. Dan kali ini terdengar tanda-tanda orang mendekati pintu utama. Dan benar saja, seseorang berhijab ungu membukakan pintu. Terkejut dan tak percaya siapa yang datang dan bersama siapa.

"Kak, Gadzi?"

"Assalamu'alaikum, Rhein."

"Wa'alaikummussalam, mari silakan masuk," Rheina dengan gugup langsung saja mempersilakan tamunya masuk.

"Papamu ada, Nak?" Tanya Pak Arman pada Rheina yang terlihat malu.

"Ada, Pak. Mari silakan duduk, sebentar saya panggilkan Papa." Gadzi menghela nafas berat dan menganggukkan kepalanya.

Wajah Ibu terlihat sangat senang. Terus tersenyum sambil mengusap tangan Gadzi yang terasa dingin. Walau pun ia CEO, terbiasa berbicara di depan banyak orang, tapi kalau sudah urusan hati apa lagi seperti yang akan ia lakukan malam ini, Gadzi tetap gugup.

Beberapa saat kemudian Pak Erik, orang tua satu-satunya Rheina datang menemui tamunya. Saling berjabat tangan dan menanyakan kabar untuk sekedar basa-basi.

Karena sebenarnya kedatangan Gadzi dengan orang tuanya sama sekali belum diketahui oleh Pak Erik mau pun Rheina. Maklum saja, Rheina terlihat bingung. Ada apa malam-malam begini bosnya datang bersama kedua orang tuanya.

Rheina kembali ke ruang tamu dengan membawakan makanan dan minuman ala kadarnya sebagai jamuan.

"Silakan diminum, Pak, Bu, Kak Gadzi!"

"Ya, terima kasih, Rhein." Gadzi tersenyum dan matanya tak lepas dari punggung Rheina sampai Rheina penghilang dibalik dinding untuk mengembalikan nampan. Kemudian kembali lagi untuk membersamai mereka malam ini.

"Eh, begini Pak Erik..." Pak Arman angkat bicara. Kali ini Pak Erik terlihat lebih serius. Namun di kepalanya masih penuh tanda tanya. Ada apa?

"Sebelumnya kami minta maaf, malam-malam sudah mengganggu waktu istirahatnya.."

"Tidak apa-apa, Pak Arman."

"Kedatangan kami kemari yang pertama silaturahmi dengan Pak Erik dan Mbak Rina..."

"Rheina, Ayah..." ralat Ibu.

"Oh, ya. Rheina, hehe maaf, belum hafal jarang bertemu juga sama, Rhei...Rheina?" Kata Ayah sedikit terkekeh disusul anggukan dan senyum malu Rheina.

"Kalau begitu saya ulangi saja," semua terkekeh mendengar kalimat Ayah Gadzi.

"Ya, Pak Erik, yang pertama kami datang untuk silaturahmi. Dan tujuan kami yang kedua adalah mengantar putra kami untuk menyampaikan niat baiknya kepada Pak Erik dan Rheina."

Rheina semakin kebingungan. Ada apa sebenarnya dan niat baik apa yang akan Gadzi sampaikan padanya dan Papanya. Meski sebenarnya hatinya gelisah mendengar kata 'niat baik' yang masih belum spesifik, Rheina berusaha tetap tenang. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya sembari membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman.

"Pak Erik, Rheina," kali ini Gadzi yang bicara. "Semoga kedatangan kami, terutama saya nantinya tidak membuat Pak Erik dan Rheina menyesal,"

"Wah, justru kita malah seneng, lo.."semua terkekeh.

"Terima kasih, Pak Erik." Gadzi diam sejenak sampai suasana benar-benar hening.

"Bismillahirahmaanirrahiim, dengan nama Allah dan kemantapan hati saya...Saya Fikran Gadzi Al Muhammad berkeinginan untuk meminang putri Bapak Erik Mandarko, Rheina Graceva untuk menjadi pelengkap separuh agama saya..."

Jantung Rheina seakan-akan berhenti. Waktu pun sama, berhenti. Telinganya juga terasa tuli, mata seperti buta dan hati yang selama ini mendambakannya, tak percaya.

"Bersediakah, Pak Erik menerima khitbah saya atas putri bapak?"

"Aduh, cepat sekali, ya." Pak Erik terkekeh dan yang lain pun ikut terkekeh. Kecuali Rheina yang masih diam, mematung dan membisu.

Apa yang harus Rheina katakan? Ia bingung sekaligus senang dan merasa menjadi wanita paling beruntung. Dikhitbah oleh pria yang selama ini ia impikan untuk menjadi teman hidupnya.  Seandainya saja Rheina tahu, ini bukan kali pertama Gadzi mengkhitbah seorang gadis. Dan seandainya saja Rheina tahu, pria itu adalah cinta pertama sahabat terbaiknya, Zahra. Pasti ia tidak seperti ini. Hatinya tidak akan melompat kegirangan, dadanya akan tenang dan mungkin ia akan menolak.

Tapi,...

"Mas Gadzi....untuk jawabannya saya serahkan saja pada Rheina, karena Rheina juga yang akan menjalaninya. Bagaimana, Rhein?"

"Emm...maaf. Kak, apa ini serius?"

"Insya Allah, Rhein. Saya sudah menetapkan pilihan saya kepadamu. Jadi bagaimana?"

"Haruskah Rheina menjawab sekarang juga?"

"Kalau bisa secepatnya, Nak. Ibu sudah nggak sabar dapat cucu." Jawab Ibu disusul gelak tawa seisi ruangan kecuali Rheina yang hanya tersenyum.

"Em," Rheina menghela nafasnya sebelum kembali berbicara. Tapi, haruskah ia memberi jawaban saat ini pada Gadzi, sementara Zahra belum mengetahui. Seharusnya ia sharing lebih dulu pada sahabatnya itu. Sedangkan Gadzi datang terlalu mendadak dan Ibunya berharap untuk segera.

Prinsip Rheina saat ini hanya satu. Lebih cepat lebih baik.

"Pa?" Panggilnya pada Papa yang memberikan senyum tulus beserta anggukan tanda menyetujui.

"Bismillahirahmaanirrahiim, dengan nama Allah, saya Rheina....Rheina Graceva menerima, dan...bersedia untuk hidup bersama Kak Gadzi dengan restu dari Papa."

"Alhamdulillah," semua mengucapkan hamdalah. Bersyukur mendengar apa yang Rheina ucapakan. Dan Gadzi tentunya merasa lega. Akhirnya ia menemukan gadis yang bersedia hidup bersamanya.

Lalu, bagaimana dengan Zahra?

~~~~•••~~~~

Jujur, saya sedih. Entah kenapa hatiku lebih berpihak pada Zahra.

Doakan saja yang terbaik untuk mereka.

Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang