36. Hidup Baru

528 33 7
                                    

~~~~•••~~~~

BERTERIMA KASIH dengan waktu yang telah membimbingnya dan menuntunnya menuju sebenar-benarnya ikhlas. Kebahagiaan sang sahabat adalah hal yang Zahra nantikan setelah ia tahu betapa kelamnya kehidupan Rheina dulu. Dan kini Rheina telah memiliki seseorang yang membuatnya merasa sempurna, merasakan kebahagiaan tiada tara.

Waktu berjalan begitu cepat hingga tanpa terasa sudah hampir setengah tahun Zahra jarang sekali berkencan berdua dengan Rheina. Padahal hal seperti itu seperti menjadi kebiasaan hidup mereka berdua. Tapi kini telah berubah. Hidup baru telah dirasakan Zahra, Rheina dan juga Gadzi yang saat ini sudah menjadi suami Rheina.

Rheina yang terus bersyukur menikmati hidup bersama pria impiannya. Janjinya benar, Gadzi tidak pernah melihat istri tercintanya murung, bahkan sampai menitikkan air mata, karenanya. Ya, Rheina adalah istri tercintanya. Keyakinannya akan datangnya rasa cinta dengan berjalannya waktu, kini sudah ia rasakan.

Tak hanya itu, Ibu Gadzi yang dari dulu mendambakan menantu idaman, kini Ibu sudah memilikinya. Namun sayang, Allah belum memberikan kepercayaan kepada Gadzi mau pun Rheina untuk menjadi orang tua. Padahal, cucu dari Gadzi adalah harapan utama Ibu. Tapi tak apa, Ibu akan sabar sampai nanti Allah benar-benar percaya pada kedua putra-putrinya untuk menjadi orang tua.

Dan tepat hari ini Fahri pun akan merasakan hidup baru. Kakak Zahra yang sangat ia sayangi sudah berhasil meluluhkan gadis yang selama ini ia cintai secara diam-diam.

Menikah bukanlah suatu perkara mudah bagi Zahra. Tentang kesiapan mental, fisik bahkan materi. Dan jujur sampai saat ini Zahra masih merasa belum siap dengan itu. Selagi ia mampu, ia akan terus memperbaiki dirinya menjadi wanita seperti Umi. Baginya Umi adalah teladan. Lemah lembut, sopan santun, dan penyayang. Terlebih lagi, Umi adalah istri yang tepat untuk Abi. Dan Zahra ingin sepertinya.

"Ra, jadi mau kapan?" Tiba-tiba seseorang bertanya seperti itu.

"Apa?"

"Kakakmu udah, Bosmu udah...malah sama sahabatmu, kamu mau kapan, nih?"

Zahra tersenyum. Pertanyaan itu bukanlah hal asing bagi Zahra dan ia tahu bagaimana seharusnya ia menjawab.

"Nanti bila waktu sudah tiba, sekarang lagi terus memperbaiki diri. Nggak kebayangkan...kalau kita mintanya jodoh yang sempurna, tapi nyatanya manusia tidak ada yang sempurna. Minimal jodoh yang baiklah, masa iya, kitanya masih gini-gini aja. Ya..berusahalah untuk mengimbangi, jadi aku masih ingin memperbaiki diri dulu, terburu-buru juga nggak baik. Toh, Allah belum kasih orang yang tepat buatku. Nggak mau kan kita terjebak pada cinta yang salah? Kamu juga pasti? Hehe..."

"Bener juga katamu, Ra. Menikah itu tentang kemampuan dan kesiapan dari berbagai aspek, bukan cuma di mulut doang,"

"Nah, betul."

Memang benar, hidup baru bukanlah hidup tanpa ada masalah. Tapi justru ini adalah hidup yang sebenar-benarnya dimana berbagai masalah akan datang secara bergantian, bahakan sekecil dan sesepele apa pun itu.

Maka dari itu, tidak mudah bagi Zahra saat ia dikhitbah cinta pertamanya saat itu. Apa lagi perasaannya yang sama dengan sahabatnya. Zahra bukanlah tipe egois. Tidak ingin ada pertengkaran hanya karena cinta. Maka dari itu Zahra memilih ikhlas. Ia tidak mau kehilangan sahabat baiknya hanya karena cinta. Biarlah seperti ini, yang terpenting ia tetap terus melihat Rheina setiap hari dengan senyumannya.

Tidak ada rasa menyesal bagi Zahra menolak pinangan Gadzi, karena Allah sudah menggariskan seperti ini. Tidak ada yang salah dalam hal ini.

"Zahra," seseorang menyebut namanya. Tak disangka, itu Rheina bersama Gadzi yang tampak romantis. Tidak ada lagi rasa sesak di dada Zahra seperti hari dimana Gadzi menjabat tangan orang tua Rheina. Senyuman Gadzi waktu itu mampu membuat Zahra semakin ikhlas. Entahlah, tapi Zahra yakin senyuman Gadzi itu untuknya, bukan untuk orang yang mengenakan gaun putih yang sedang ia tuntun menuju kursi di samping Gadzi.

"Rhein..." tidak ada yang berubah. Setiap kali bertemu mereka masih layaknya anak gadis yang merasa senang bila sedang bertemu. Saling peluk, saling cium pipi dan tertawa.

"Kak Gadzi...ee..sudah ketemu Bang Fahri?"

"Sudah,Ra."

"Ya sudah silakan cicipi makanannya,"

"Tahu aja, Ra aku laper," kata Rheina yang membuat mereka terkekeh termasuk seseorang di samping Zahra yang bertugas sebagai penerima tamu pada pernikahan Fahri.

"Oh iya, Ra, besok sudah bisa ke kantor, kan?"

"Insya Allah, Kak."

"Kemarin sehari nggak ada kamu semua keteteran, Ra."

"Apa lagi aku, kesepian asli. Biasanya meja samping ada yang diajak ngobrol kemarin kosong."

"Ah, iya. Insya Allah besok bisa berangkat. Em...ngomong-ngomong Rhein..."

"Hmm?"

"Kapan kasih ponakan buat Zahra, nih?" Bisik Zahra di dekat telinga Rheina yang membuatnya melirik pada sang suami.

"Doain aja, Ra. Saat ini Allah belum kasih. Emang kalau kamu punya ponakan mau kamu apain, Ra?"

"Mainanlaah..."

"Enak aja.."

"Bercanda, ya udah silakan makan-makan dulu."

Gadzi melirik jam tangannya, kemudian berkata"em, kayaknya mau langsung pamit aja deh, Ra."

"Kok buru-buru, Kak."

"Ada meeting di kantor sebelah, yang mau kerja sama, sama perusahaan kita."

"Emang sekarang meetingnya bukannya dua hari lagi, Kak?"

"Sana minta diajuin, Ra."

"Oh, gitu. Maaf ya Zahra nggak bisa hadir."

"Tenang aja Rheina siap jadi notulen, hehe.."

"Hah, emang gitu Mas?"

"Kalau mau sih, kalau enggak ya biar Ririn aja."

"Eh, iya mau lah. Asal sama kamu," mendengar Rheina berkata itu Zahra tersenyum. Bersyukur pada Allah, akhirnya sahabatnya bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

~~~~•••~~~~

Barakallah Rheina dan Gadzi.

Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang