47. Cucu untuk Ibu

625 26 2
                                    

~~~~•••~~~~

IA tersenyum melihat perempuan itu. Penampilan yang sampai saat ini tidak pernah membuatnya bosan. Tidak modis. Sederhana saja dan sesuai dengan syariat. Kain lebar itu menutup kepala sampai dadanya. Dan dress yang berwana elegan menjuntai di tubuhnya.

Ia mendekati perempuan itu kemudian menyapanya seperti biasanya.

"Selamat pagi, Ra..." senyumnya kembali setelah semalaman sampai tadi di jalan menuju kantor senyumnya tak muncul juga.

Ia juga tak banyak bicara dengan suaminya selama perjalanan. Sampai ia menemui sahabatnya yang bisa mengembalikan senyum yang sempat hilang.

Meski begitu ia tetap saja khawatir tidak bisa memberikan anak untuk suaminya dan cucu untuk ibu.

"Selamat pagi, Rhein...Kak Gadzi." Balas Zahra dengan senyumnya yang manis itu. Siapa tidak kenal Zahra? Pasti dikenal banyak orang akan kebaikan dan keramahannya.

"Em.. Aku ke ruangan dulu," kata Gadzi kemudian pergi setelah mendapat anggukan dari Rheina dan Zahra. Tak lupa kalimat penyemangat dari istrinya.

Tidak biasanya seperti ini. Rheina sama sekali tidak membuntuti suaminya sampai ruangannya. Walau hanya sekedar merapikan beberapa barang yang mungkin sedikit miring posisinya.

"Ya udah... Masuk dulu, Rhein."

"Tunggu dulu," cegah Rheina.

"Kenapa?"

"Nanti siang aku mau ketemu kamu. Aku tunggu di kantin jam makan siang, ya?!"

"Oke.. Insya Allah. Ya udah kalau gitu aku ke ruangan dulu ya!?" Tidak banyak pertanyaan dari Zahra untuk apa Rheina minta bertemu. Padahal biasanya ia selalu makan siang bersama suaminya.

Sejak Rheina menikah dengan CEO perusahaan ini, ruangan Zahra dan Rheina berbeda. Apa Rheina naik pangkat? Tidak juga, hanya pindah divisi.

Satu lagi. Apa Rheina hanya datang saat membutuhkan Zahra saja?

Tidak juga. Ia masih sama seperti dulu. Itulah penilaian Zahra tentang Rheina. Walau pun Zahra tidak tahu apa yang pernah Rheina lakukan. Sebagai sahabat, Zahra juga harus memahami Rheina yang sudah berumah tangga. Tentunya sudah memiliki tanggung jawab dan kewajiban baru sebagai seorang istri.

Rheina berjalan menuju ruangannya. Dan melewati sebuah ruangan dimana dulu Papanya bekerja. Sekarang bukanlah Papanya yang duduk di dalam ruangan itu. Melainkan orang lain yang juga sudah tidak asing lagi bagi Rheina.

Ia berhenti, sejenak menatap pintu dengan kaca transparan di bagian atasnya.

"I miss you, Pa..."

Tiba-tiba pintu ruangan itu tebuka. Memunculkan seorang pria berpenampilan rapi. Usianya kira-kira lima puluhan tahun. Namanya Pak Santoso. Beliau ini memang sudah lama bekerja bersama Gadzi. Bahkan sejak Pak Arman masih di sini sebelum akhirnya posisinya digantikan oleh putranya. Mungkin Pak Santoso sebentar lagi pensiun.

"Loh, ada apa Bu Rheina?" Sesopan itu. Mengingat Pak Santoso hanyalah bawahan Gadzi dan Rheina adalah istrinya. Meski di kantor Rheina tetaplah bawahan Gadzi.

Rheina tersenyum.

"Tidak apa-apa, Pak. Cuma ingat Papa saya saja," katanya. Lalu Pak Santoso mengangguk memahami perasaan Rheina yang belum lama ini ditinggal orang tua satu-satunya untuk selamanya.

"Kalau gitu saya permisi dulu, Pak."

"Ya, Bu. Silakan."

Pekerjaan demi pekerjaan ia lakukan. Meski berkali-kali untuk sejenak memikirkan pertanyaan ibu kemarin, tetap saja kalimat itu terngiang-ngiang. Membuat pekerjaannya sedikit berantakan. Tapi Rheina tidak sampai melakukan kesalahan yang fatal. Hanya saja ia sempat salah membuka komputer yang ternyata bukan miliknya.

Jam istirahat siang tiba. Setelah solat dhuhur selesai, Rheina meminta izin suaminya untuk bertemu Zahra dan tidak akan makan siang dengan Gadzi. Kebetulan sekali siang ini Gadzi juga harus menghadiri meeting di luar.

Berbagai hal Rheina ceritakan pada Zahra. Harapannya Zahra bisa membantunya. Dan salah satu solusi dari Zahra adalah adopsi selain untuk tidak henti-hentinya memanjatkan doa kepada Allah.

"Tapi siapa, Ra? Apa Mas Gadzi mau dengan keputusan ini? Tapi, kalau aku nggak ngelakuin ini, aku pasti bakal kepikiran terus."

"Rhein, coba nanti kamu bicarakan baik-baik sama suamimu. Siapa tahu suamimu ridho dan Allah ridho. Jadi orang tua itu nggak gampang, Rhein. Tapi kamu harus belajar, seberat apa pun itu tantangannya."

~~~~•••~~~~

Gadzi menyetujuinya.

"Aku hubungi ibu dulu," tangan Gadzi segera ditarik dengan lembut oleh istrinya.

"Nggak usah, Mas. Biar jadi kejutan buat Ibu." Gadzi tersenyum mendengar kalimat itu. Kemudian ia kembali menyimpan ponselnya.

Mereka tidak menunda-nunda kesempatan ini. Malam ini juga mereka segera pergi mencari salah satu panti asuhan yang direkomendasikan Zahra tadi. Bukan menuju panti yang didirikan oleh Gadzi sendiri.

"Rhein, kamu siap dengan tanggung jawab ini?" Tanya Gadzi lagi memastikan.

"Insya Allah siap. Asalkan kita selalu sama-sama, Mas."

"Aamiin. Insya Allah."

Mobilnya berhenti di pelataran bangunan itu. Terdapat papan bertuliskan Panti Asuhan Cahaya Kasih terpampang di depan bangunan itu.

Sepertinya pihak panti tahu kalau Gadzi dan Rheina malam ini akan datang. Karena terlihat dua wanita yang berdiri di ambang pintu tersenyum ke arah mereka. Dengan pintu yang sudah terbuka. Apa mungkin Zahra sudah menghubungi pihak panti?

Gadzi mengutarakan tujuannya kepada kedua wanita itu. Wajah keduanya terlihat sangat bahagia mendengarnya. Kemudian salah satu dari mereka mengantarkan Gadzi dan Rheina menuju kamar di mana calon anak angkatnya sudah tertidur.

Ya. Ia masih bayi berusia lima bulan, dan sudah memiliki nasib yang sangat malang. Ibunya menyerahkannya ke panti dengan alasan tidak bisa menghidupi setelah anak itu lahir. Suaminya tidak bertanggung jawab. Dan ibunya harus bekerja untuk dirinya yang sudah sebatang kara. Begitulah sedikit cerita dari pihak panti.

"Bu, ini datanya." Bu Lestari-pengurus panti memberikan selembar kertas. Terdapat nama anak itu, Rheina Putri Graceva.

Rheina tercengang membacanya. Selain namanya hampir sama dengan dirinya, di sana juga ada nama Mamanya, Merry. Yang pergi enam tahun lalu dan ia tidak pernah tahu dimana dan bagaimana kabarnya saat ini.

Rheina berusaha biasa saja. Dan tidak memikirkan hal itu. Mungin hanya kebetulan. Toh, Gadzi juga tidak tahu siapa nama Mamanya sebenarnya. Rheina benar-benar melupakan masa kelam itu.

Meski sebenarnya Rheina ingin berbakti pada Mamanya. Tapi ia tidak tahu dimana Mamanya sekarang. Mungkin dengan cara mengasuh bayi ini, ia bisa berbakti pada orang tua. Jika benar nama Merry itu adalah Mamanya.

Setelah Gadzi menyiapkan beberapa berkas dan persyaratannya, mereka kembali pulang dengan membawa bayi itu. Secepat itu Gadzi mengurusnya untuk mengadopsi seorang anak. Karena Gadzi sudah sedikit berpengalaman, mengingat ia juga seorang aktivis bahkan salah satu pengurus panti asuhan. Jadi Gadzi paham akan hal itu.

~~~~•••~~~~

Ramadhan day-8.

Gimana masih semangat?!?

Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang