25. Bersediakah?

541 34 1
                                    

~~~~•••~~~~

AKHIR pekan yang membuat pikiran Gadzi semakin kalut. Harusnya menjadi hari-hari yang membuat ia dan keluarganya bahagia. Tapi malah sebaliknya bagi Gadzi. Akankah ia melakukannya, sedangkan salah satu dari semua kebenaran yang perlu Gadzi tahu sudah ia dengar sendiri dengan telinganya. Bimbang dan gelisah.

Ia merenung di depan layar komputer yang mati. Memijit pangkal hidungnya yang terasa tersumbat sambil matanya terpejam walau sebenarnya ia tidak mengantuk. Dan ia juga tidak sedang flu. Ia sehat dan baik-baik saja. Tapi tidak dengan hatinya yang terus dipenuhi pro dan kontra dengan ego dan pikirannya. Sebentar lagi waktu ashar tiba dan ia belum juga membawa tubuhnya menuju masjid.

Hingga suara ketukan pintu membuatnya membuka mata dan menoleh ke arah sumber suara. Sampai dua kali suara itu terdengar Gadzi belum juga menyahutnya.

Dan ketukan yang ketiga kalinya membuat Gadzi menyeret kakinya ke arah pintu.

Dep

Hanya Fahri yang terlihat. Tidak ada orang lain. Dibawanya sebuah paperbag berwarna gelap. Kemudian tersenyum lebar kepada bosnya yang wajahnya sudah sulit didefinisikan. Ya, Gadzi terlalu lelah. Bukan hanya dengan pekerjaannya tapi juga perasaannya.

"Apa?"

"Ada bingkisan Bos," kata Fahri sambil menyodorkan bingkisan tadi.

"Dari siapa?" Gadzi mengernyitkan dahinya. Karena ini adalah kali pertamanya menerima bingkisan yang berisi setangkai mawar dan entah bungkusan apa yang ada di dalamnya. Tapi yang benar saja kalau ini untuk Gadzi? Mawar?

Fahri menaikan kedua bahunya tanda ia tidak mengetahui siapa pengirim bingkisan itu. Karena Fahri juga menerimanya dari Mbak Nida, mbak resepsionis.

"Ok. Saya terima." Gadzi meraihnya.

"Yasudah Bos, saya permi-"

"Eh sebentar, aku mau bicara. Masuk!" Fahri mengekori Gadzi setelah menutup pintu ruangan.

"Ada apa, Bos?"

Gadzi meletakkan bingkisan tadi di meja kemudian membenarkan posisi duduknya sebelum mulai membuka suara lagi.

"Ehem..."ia berdehem.

"Ehem juga Bos..." Fahri mengikuti membuat kedua pria itu terkekeh.

"Serius, serius...."

"Iya, serius..." Fahri menegakkan punggungnya dan menunggu bosnya berbicara.

"Nanti malam kamu ada acara?"

Fahri mengingat-ingat sejenak, kemudian berkata, "engg...nggak si, Bos. Ada apa?"

"Abi sama Umi di rumah kan?"

"Kayaknya sih begitu, hari Jum'at biasanya di rumah,"

"Zahra?"

"Nggak tahu, Bos. Nanti saya tanyakan. Memangnya kenapa, Bos?"

"Eh...enggak, pengen ketemu Abi sama Umi aja. Lama nggak ketemu beliau.."

"Oh, boleh. Nanti saya sampaikan deh, Bos." Gadzi menggut-manggut mendengar kalimat Fahri.

"Ashar nih, Bos." Fahri melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima belas lewat lima menit.

"Saya duluan,"

Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang