Gua duduk diam dan menatap kosong ke depan setelah semua luka gua diobati sama perawat di IGD. Di samping gua ada Mingyu yang menangis entah kenapa."Kenapa sih?" Tanya gua kesal.
"Coba aja gua nggak nahan Tamara, mungkin sekarang kita udah sampe di rumah, Kay. Gua harus bilang apa ke nyokap lu sama orang tua gua?" Kata Mingyu yang frustasi.
Bukannya ikut sedih, gua malah tertawa melihat Mingyu yang frustasi. Sebenernya tujuan gua adalah supaya dia nggak terus-terusan kayak begini. Gua cuma mau nenangin dia.
"Gua nggak kenapa-kenapa kok. Lagian orang tua kita bakalan ngerti kali, Mingyu." Kata gua.
"Gua nggak bisa lupa suara lu ngejerit pas diobatin lukanya, Kay. Gua nggak bisa lupa sama darah yang keluar banyak banget dari tangan sama kaki lu." Kata Mingyu.
Gua tersenyum dan mengusap-usap rambut Mingyu yang berantakan. Sesekali gua merapihkan rambut Mingyu agar lebih enak dilihat.
Mingyu memegang tangan gua lalu mengecup tangan gua berkali-kali. Seketika rasa sakit di lengan dan kaki gua hilang saat mendapat kecupan dari Mingyu tadi.
"Gua nggak kenapa-kenapa. Lu kan tau kalo gua kuat." Kata gua.
Mata Mingyu menatap gua dengan sendu. Dia mengusap rambut gua serta wajah gua. Please, gua nggak suka ngeliat dia sedih kayak begini. Gua malah jadi merasa bersalah sama dia.
"Baju lu udah berlumuran darah semuanya." Kata Mingyu, gua hanya terkekeh.
"Mingyu!"
Hampir aja gua berteriak karna kaget melihat kedatangan Tante Hana secara tiba-tiba di sini. Dia bener-bener keliatan panik banget. Nafasnya pun nggak teratur.
"Tolong!" Lirihnya.
"Tamara makin parah. Dia bilang dia mau lompat dari jendela!"
Dada gua mencelos mendengar berita dari mulut Tante Hana. Seobsesi itukah Tamara sama Mingyu? Gua masih nggak percaya kalo manusia kayak begitu masih ada di dunia.
Mingyu langsung berdiri dan meninggalkan gua di IGD sendirian. Tanpa peduli apa-apa lagi, gua turun dari ranjang gua dan langsung mengejar Mingyu dan Tante Hana. Gua nggak memerdulikan para perawat yang memanggil gua.
Dengan langkah pincang gua ikut masuk ke lift bersama Mingyu dan Tante Hana. Mingyu sempat terkejut melihat gua yang juga ikut masuk ke dalam lift.
"Loh? Lu kenapa ikut? Bukannya tunggu aja di situ." Kata Mingyu, tapi gua sama sekali nggak peduli sama kata-katanya. Gua juga mau bantu Tamara supaya dia nggak berbuat hal yang gila.
Setelah lift terbuka, Tante Hana langsung berlari ke kamar Tamara. Sedangkan Mingyu membantu gua untuk berjalan ke kamar Tamara.
"Tamara!" Panggil Mingyu sambil menghampiri Tamara.
Hal yang pertama gua liat di kamar Tamara adalah Tamara yang udah ada di atas lantai kamarnya. Gua terheran-heran melihat Tamara yang udah seperti orang kerasukan. Padahal kakinya masih belom sembuh, tapi dengan beraninya dia turun dari ranjangnya.
"Mingyu!!!!!"
Mata gua langsung berkaca-kaca melihat Mingyu yang memeluk Tamara dengan erat dan menopang tubuhnya agar tidak jatuh.
"Gua mohon jangan tinggalin gua demi siapa pun!" Kata Tamara sambil menangis dan menjerit.
Nafas gua tercekat saat Tamara tersenyum layaknya iblis dan menoleh ke arah gua. Gua melangkah mundur saking takutnya, padahal Tamara sama sekali nggak bergerak. Gua cuma takut kalo tiba-tiba dia nyerang gua.
