Bab 2 : Serba Salah

1.6K 85 13
                                    

Pagi ini aku merengek pada Dhoni, meminta agar tak terburu-buru membeli tiket terbang ke Bali karena aku masih ingin menikmati waktu bersama keluargaku. Aku meminta kompensasi waktu dua hari lebih lama dari waktu yang sudah ia tentukan. Dhoni menyetujui dan aku pun sangat berterima kasih.

"Makasih doang, nih?" Dhoni mendengus di depan wajahku.

Semenjak tahu aku sedang haid, Dhoni seperti menderita mood swing. Sensitif, ngambekan, persis seperti Caca, anak Kak Bayu yang usianya baru tiga tahun. Aku tahu ia masih kesal karena hasratnya belum tersalurkan.

"Terus, maunya apa?" tanyaku.

Aku memeluk tubuhnya yang berbaring di sampingku, tapi hanya sebentar karena Dhoni langsung merubah posisinya menjadi berbaring menyamping, dengan kepala yang tertumpu pada siku dan telapak tangan.

Mata indahnya memandangku sarat akan makna. Meski sudah dua tahun bersama, aku tetap saja salah tingkah jika ditatap seperti ini.

"Masih berapa hari lagi?"

"Apanya?"

"Haid kamu?"

"Oh! Empat atau lima," jawabku dan lagi, Dhoni mendengus, frustrasi.

"Sabar, ih! Nanti kalau udah bersih puas-puasin, deh. Tujuh kali dua puluh empat jam aku jabanin. Paling kamu yang gempor."

"Oh, jadi kamu nantangin aku, hm?"

Dengan gerak secepat kilat, Dhoni sudah ada di atas tubuhku. Alisnya terangkat dan smirk di sudut bibirnya terlihat mengerikan, meski begitu, wajah mesumnya terlihat seksi.

Bodohnya aku yang selalu terpanah, hingga tak sadar jika sekarang Dhoni sudah mencium bibirku sedikit kasar. Aku yang terkejut langsung mendorong tubuhnya menjauh, tapi usahaku sia-sia, meski tubuh Dhoni terbilang kurus tapi tetap saja dia berat.

Aku memukul dadanya, bukannya menjauh, ia malah semakin getol. Kepalanya terbenam di ceruk leher, menyesap kulitku hingga menimbulkan bercak merah.

Dhoni dengan mudah menelusuri tulang selangkaku, karena dua hari ini aku tidur hanya mengenakan setelan berbahan satin, dengan atasan tali spageti dan celana hotpants.

Sebenarnya, aku tak ingin memakainya, sungguh. Dhoni yang menyuruhku.

Aku sempat menggerutu, kenapa banyak sekali baju haram yang dihadiahkan untukku, mungkin ada yang berniat membeli baju itu? Aku masih punya dua puluh potong lagi di lemari.

"Dhoni, udah!"

"Dhoni..."

Nafasku terengah saat Dhoni menjilat kulit leherku dengan lidahnya. Seperti memuja, ia tak melewatkan sejengkal pun di sana. Kulitku memang tak seputih kulitnya, tapi Dhoni bilang aku seksi dengan kulitku yang seperti ini.

Aku tiba-tiba terhenyak, potongan-potongan adegan menyakitkan itu dengan lancang masuk tanpa permisi di kepala. Tubuhku kaku dan aku hanya bisa menatap langit kamar dengan tatapan kosong. Tanganku yang tadinya memeluk tubuh Dhoni tiba-tiba terkulai lemas, jatuh di kedua sisi tubuhku tanpa ada lagi tenaga untuk bergerak.

Jika ia pernah melakukan hal ini pada perempuan selain aku, aku jadi enggan diperlakukan seperti ini olehnya.

Aku jijik, sungguh. Desahan Dhoni saat mencumbuku sama persis ketika bibir tipisnya menyentuh kulit polos perempuan itu. Aku jadi mati rasa dan tak berminat membalas cumbuannya.

"Sayang, udah dong!"

"Dhoni, aku nggak mau!"

"Tolong, Dhoni. Lepasin!"

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang