Bab 9 : Belum Sepenuhnya Menerima

993 66 14
                                    

Tepat pukul tiga pagi aku terbangun dengan kepala seperti tertimpa sesuatu yang berat, mata bengkak seperti habis ditonjok, leher seperti tercekik karena tenggorokan yang teramat kering. Lengkap sudah penderitaanku sebab saat ini aku juga sedang lapar.

Seingatku, tadi malam aku hanya makan sepotong biskuit sisa yang ada di dalam kulkas. Pantas saja aku didemo oleh cacing yang ada dalam perutku sekarang.

Dengan setengah sadar, aku mencoba bangkit dari ranjang berniat ke dapur untuk mengisi perutku dengan camilan atau kalau beruntung aku bisa makan nasi walaupun dengan lauk seadanya.

Wait! Ranjang?

Setahuku semalam aku sudah tertidur di lantai sambil kupeluk gulingku dengan erat, sesaat setelah tenagaku habis karena kelelahan menangis. Pertengkaran hebat antara aku dan suamiku berujung perginya ia dari rumah dan tak kunjung kembali meski jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Setelahnya aku tak tahu lagi apa yang terjadi, mataku tertutup, aku tertidur.

Amehnya saat ini aku tengah didekap oleh seseorang dengan lengan kekar yang melingkar posesif di pinggangku. Dekapannya begitu hangat dan dapat kurasakan ada napas yang berhembus teratur di sela-sela rambutku yang terurai.

Tak ingin besar kepala terlebih dahulu. Dengan lembut, aku menelusuri lengan itu dengan jariku, meyakinkan bahwa ini bukan hanya sekadar mimpi dan well, ini nyata. Pemilik lengan kekar itu memang Dhoni.

Terbersit suatu kelegaan pada diriku terlebih hatiku saat ini. Dhoni tak pergi, dia masih disini, tengah tidur satu ranjang bersamaku. Tak ayal senyumku pun mengembang, hatiku yang was-was kembali menemukan ketenangan. Dan saat itu juga aku sadar bahwa Dhoni memindahkan tubuhku dari lantai lalu naik ke atas ranjang. Bisa kulihat bagaimana gigihnya Dhoni yang tetap tak menyuruhku untuk tidur di bawah sana.

Aku kira Dhoni sudah tak sudi menginjakkan kaki di rumah ini setelah pertengkaran kami tadi malam. Selepas aku mengutarakan keinginanku untuk menyudahi semua, ia pergi dengan membawa dompet dan ponselnya. Masih terbayang jelas raut wajah penuh amarahnya yang sangat mengerikan.

Pikiran burukku tentangnya sudah kemana-mana, kupikir ia tidur dengan nyaman di hotel tanpa ada beban dan rasa bersalah sedikit pun padaku. Atau yang lebih parah, suamiku sudah pulang ke Jakarta dan kembali menemui Hanna.

Terbayang akan hal itu saja sudah membuat hatiku sakit, aku semakin kecewa padanya, juga benci sejadi-jadinya.

Akan tetapi, setelah mendapati ia sedang tidur denganku, lagi-lagi aku harus mengakui suatu kesalahan dan berterima kasih pada kenyataan. Dhoni bukanlah sosok seperti yang aku bayangkan.

Yah, sudah kubilang, kan kalau Dhoni itu memang sulit ditebak atau bisa saja aku yang selama ini kurang memahami sifatnya.

Bermaksud untuk bangkit, dengan pelan aku menyingkirkan lengan kekar laki-laki keras kepala yang masih melingkar di pinggangku saat ini. Aku tak ingin membangunkannya, aku tak mau suasana canggung di antara kami datang begitu cepat.

Setelah duduk di tepi ranjang dan kakiku sudah menyentuh lantai, aku tersentak, Dhoni tiba-tiba memeluk pinggangku kembali, bukan dengan satu lengan, tapi dua. Aku jadi tak bisa kemana-mana.

"Mau kemana, Va? Jangan tidur di bawah. Sini aja." Suara Dhoni terdengar parau. Tak kuhiraukan omelannya, kupikir dia hanya mengigau. "Jangan pergi. Jangan tinggalin aku, Sayang."

Aku memutar tubuhku menghadapnya dan dengan cepat ia meletakkan kepalanya di salah satu pahaku. Dhoni membuka matanya kemudian menutupnya lagi karena silau saat terkena sinar lampu yang mendadak. Lampu kamarku tidak kumatikan saat malam sebab aku memang tak bisa tidur dalam keadaan gelap.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang