Bab 10 : Pikiran yang Rumit

798 58 10
                                    

"Sayang, jalan, yuk. Bosen nih di rumah. Kita kulineran di dermaga aja, gimana?"

Aku masih meringkuk di dalam selimut saat Dhoni mengajakku bicara selepas ia selesai melakukan ritual mandi paginya walau saat ini jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Wangi sabun dan sampo yang begitu menyeruak segar menampar indera penciumku, membuat kepalaku terpaksa menoleh pada sang pemilik wangi itu.

"Nggak dulu. Aku masih capek!" Suara serak yang keluar menjelaskan jika keadaanku sekarang benar adanya.

"Nggak lama lagi kita balik ke Jakarta, nanti kamu kangen Palembang. Kita bakalan lama loh pulang ke sini. Paling lebaran tahun depan, itu juga kalau aku nggak sibuk. Jadi, puas-puasin mumpung masih ada waktu."

Dhoni melempar handuk basah yang baru saja ia pakai ke atas ranjang tanpa dosa. Dengan senyum manisnya yang sumringah, ia kemudian membuka koper besar dan mengobrak-abrik isinya.

Aku kembali memunggunginya setelah sadar kalau Dhoni sedang telanjang sambil bersenandung ria. Kembali menarik selimut tebal yang tadi sempat tersingkap, kini aku tidak berminat pada apa pun.

Aku biasanya cerewet saat Dhoni abai terhadap kebersihan dan kerapian, tapi sekarang aku terlalu malas mengucap sepatah kata apalagi harus mengoceh panjang lebar saat tadi kudapati ia melempar handuk basah ke arahku.

Entah mengapa perasaanku saat ini kembali gelisah sebab adegan mesum Dhoni dan Hanna sampai terbawa ke alam mimpi. Membuat mood-ku kembali anjlok saat terbangun di pagi hari. Harusnya aku tidak kembali tidur setelah bangun subuh tadi.

"Aku sudah biasa pulang sendiri. Kamu nggak perlu repot buat ikut!"

Dhoni mulai merangkak naik ke atas ranjang dan ikut bergabung denganku, berbaring di dalam selimut setelah ia memakai kaus dan celana hitam yang kontras dengan warna kulitnya. Dhoni terkekeh sambil memukul bokongku, kemudian ia mencium pipiku lama hingga meninggalkan bekas air liurnya.

Dia memintaku menghadapnya. Tanpa memberi perlawanan yang berarti, wajah kami sudah saling bertatap dengan jarak tipis hampir bersentuh bibir. Dhoni tidak serta merta menyambar sebab wajahku tertutup oleh rambutku yang panjang.

Disekanya rambut itu sedikit demi sedikit sampai tak lagi ada yang tersisa hingga wajahku terlihat sempurna.

"Istriku cantik banget."

Dalam pejam, aku mendengus, membuat kekehan kecil luput dari bibirnya.

"Kenapa gitu responnya? Biasanya kamu langsung merah kalau aku puji. Apa kamu masih marah sama aku, hm?"

Nggak tahulah. Aku hanya kesal saja. Belum bisa mengendalikan amarah yang kadang tenggelam timbul. Bohong kalau aku tidak mau bermanja-manja padanya, tapi aku juga tidak mau semudah itu luluh. Aku ingin Dhoni menunjukkan effort-nya mengingat sebegitu besarnya dampak video itu pada diriku.

Tidak ada suara, aku hanya menggeleng pelan.

"Aku pikir masalah kita udah selesai setelah aku minta maaf tadi pagi!"

Ada satu hal yang paling tidak kusukai dari Dhoni sejak dulu. Ia selalu menganggap bahwa hanya dengan mengucap maaf, masalah bisa selesai begitu saja, tanpa mau memikirkan perasaanku yang masih menyimpan luka.

"Kapan aku bilang udah maafin kamu?" Aku sedikit memundurkan kepala. Alisku menukik, menunjukkan ekspresi tidak suka.

"Jadi, aku harus gimana biar marah kamu hilang?" Dhoni kembali menarik tubuhku agar kembali dekat dengannya.

"Sini peluk!"

Dibawanya tubuh kecilku tenggelam di dekap dadanya yang lebar. Semerbak parfum sandalwood miliknya hampir saja menghilangkan kesadaran.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang