Bab 38 : Terenggut

705 30 2
                                    

Seketika itu juga jantungku berdentam keras. Uang yang takkan habis walau dimakan tujuh turunan serta kemewahan yang sebenarnya sudah dirasakan oleh Sandi mulai dari awal kehidupan harusnya menjadi pertimbanganku sebelum menawarkan suatu kesepakatan.

"Simpan saja, aku nggak butuh duitmu."

Apa lagi yang harus aku katakan jika sudah seperti ini. Penolakan Sandi tentulah sudah mematahkan harapku.

Dalam tunduk, mataku terpejam. Kutarik napas dan sebisa mungkin menyembunyikan tangan yang sudah terkepal kuat.

Wajah menyedihkan Dhoni kembali memenuhi isi kepala, menumbuhkan sedikit keberanian dalam diri untuk mendongak, menatap laki-laki dengan tinggi 183cm yang berada di hadapanku ini.

"Kita bisa bicarakan soal ini baik-baik, Kak."

"Oh, ya?"

Kekehan lantas lolos dari bibirnya, anggapan remeh yang sudah pasti tertuju untukku terdengar renyah.

"Kamu selalu kayak gini, Va. Menganggap semuanya mudah tanpa mau memikirkan perasaan orang lain. Mungkin selama ini aku bisa mengalah, tapi sekarang nggak. Jangan kira egoismu itu selalu bisa aku terima. Dan yang perlu kamu ingat kalau sekarang status kita sudah bukan siapa-siapa."

Fakta. Aku kontan terdiam.

"Kamu udah mempermainkan hatiku, menghancurkan mentalku dan juga suamimu yang berengsek itu sudah membuat cacat tubuhku. Lalu apa kamu pikir, aku yang sudah gila ini masih bisa diajak bicara baik-baik?"

Rahang sandi mengeras. Ia maju selangkah, memperpendek jarak di antara kami.

Aku hanya bisa mengedipkan kedua mata saat tubuhku terasa sulit untuk bergerak. Wajahku pedas serasa telah terkena tamparan keras.

"Aku tahu uangku bukan apa-apa bagi kakak, tapi berapa pun yang Kak Sandi minta akan aku usahakan, asal suamiku bisa bebas," tegasku yang kemudian terperanjat ketika Sandi dengan cepat mengangkat daguku dengan ibu jarinya.

"Sudah kubilang kalau aku nggak butuh duitmu!"

Seringinya mengerikan. Ia selayaknya orang yang kerasukan. Wajahnya merah padam menahan gejolak emosi yang kian mendorong untuk keluar.

Wajahku terangkat, kini mendongak, terlalu dekat dengan wajah tampannya yang dingin.

"Harusnya kamu ke sini bawa sesuatu yang lebih dari sekadar uang. Kebebasan suamimu bukanlah sebuah perjanjian bisnis yang dengan gampang bisa dinego."

"Jadi, apa yang harus aku lakukan untuk Kak Sandi supaya Dhoni bisa bebas?" tanyaku dengan suara parau.

Sial! Aku bagai menggali kuburanku sendiri ketika pertanyaan itu lolos dari mulutku. Jika bisa, aku dengan senang hati menjilat dan menelannya kembali.

"Kamu mau melakukan apa pun demi kebebasan suamimu yang pengecut itu?" tanyanya.

"Kamu yakin?" Ia memastikan sekali lagi. Daguku semakin terangkat tinggi, bibir kami hanya berjarak sepersekian senti.

Dan dengan tololnya menyanggupi. 

Bagai gayung bersambut, senyum puas Sandi pun mengembang sempurna. Ia tak perlu susah payah menggiringku agar masuk ke dalam jebakannya karena aku sudah melompat sendiri ke dalam perangkap itu dengan senang hati.

Oh, tidak! Nampaknya jawabanku adalah lampu hijau baginya. Tanpa menunggu waktu lama, tangannya yang tadi sempat memegang ujung dakuku kini sudah melingkari leherku, memegangnya erat, hingga kepalaku sulit untuk bergerak.

Sandi mulai melancarkan aksinya, ia sekarang tengah mengecupi pipi kananku dengan penuh damba. Menghidu aroma wangi bedak tabur yang selalu kupakai sehari-hari.  

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang