Bab 21 : Silent Treatment

681 51 21
                                    

"Dhoni, tunggu!"

Aku berlari mengejar sosok Dhoni dengan langkah lebar agar aku bisa segera bertatap mata dengannya, menjelaskan kalau tuduhan yang ia tujukan padaku tadi tidak benar.

Beberapa kali bibirku merapal nama itu, tapi tidak ada satu pun sahutan yang keluar dari bibir si empunya, Dhoni seolah tuli dan bahkan ia semakin mempercepat langkahnya demi menghindari aku.

Dhoni memutar knop pintu dengan tergesa. Dapat kulihat jika napasnya masih memburu, ya jelas saja suamiku masih marah. Bukan Ezra Ramadhoni namanya jika amarahnya cepat mereda.

"Dhoni!" panggilku sekali lagi dengan nada lirih dan putus asa.

Dhoni tetap keras kepala. Sudah tidak peduli denganku yang mati-matian menahan isak.

Ia melenggang masuk ke dalam rumah dan hilang di balik tembok pembatas antara ruang tamu dan tengah tanpa mau peduli denganku yang tertatih di belakangnya, memelas bagai pengemis yang meminta uang.

Aku bisa mendengar jelas kala pintu kamarku tertutup rapat. Seketika bibirku berhenti mamanggil Dhoni dan aku terpaku. Hatiku seperti dicabik, sakitnya diabaikan lebih sakit dari pada ketika aku mendapati video seks Dhoni dan Hanna untuk pertama kali.

"Astaghfirullah. Kamu baru pulang, Va?"

Suara parau Mama menyentakku membuatku mengerjap beberapa kali guna menyembunyikan air mata yang masih menggenang. Aku mengangguk lesu sambil melepas sepatuku yang basah dan meninggalkannya di ambang pintu.

"Kamu kehujanan? Sandi mana?" tanya Mama yang tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.

"Kak Sandi sudah pulang, Ma."

"Terus, kenapa kamu bisa basah begini, Va? Apa nggak dianterin sama Sandi?"

"Diantar, Ma. Tadi pas pulang kami mampir buat beli minum, terus tiba-tiba ada mobil ngebut jadinya aku kena percikan air," kataku santai, membuat mimik muka senatural mungkin agar kebohongan ini tidak terbaca oleh Mama.

Entah berhasil atau tidak, aku hanya bisa mendengar decakan sebagai respon dari wanita yang berbeda generasi denganku itu. Mama kemudian mengambil handuk yang sudah tergeletak di sofa dengan keadaan setengah basah seperti sudah dipakai sebelumnya.

"Tadi Dhoni, sekarang kamu. Kalau kalian berdua sakit kan Mama yang repot. Udah sibuk ngurusin Papa, eh malah ngurusin kamu sama suamimu, " gerutu Mama sambil menutupi tubuh atasku dengan handuk.

"Dhoni juga tadi kehujanan?" tanyaku dengan berjuta rasa pensaran.

"Iya, dia pulang sekitar jam sembilan, selisih beberapa menit pas kamu pergi sama Sandi." Mama terdiam sejenak, menunjukkan ekspresi yang tidak biasa, seperti menyimpan sesuatu.

"Mama bingung mau jawab apa sewaktu dia nyari kamu, tapi Mama nggak mau bohong karena ini memang opsi yang kamu pilih."

Aku tertunduk lesu, menyesali perbuatanku yang gampang mengambil keputusan di saat hati dan pikiranku sedang labil. Bukannya selesai, masalah malah semakin bertambah runyam.

"Waktu Bayu pulang, suami kamu dimarahin habis-habisan. Mama sampai kasihan. Dhoni cuma diam, nunduk aja. Nggak ada pembelaan."

"Ya, Allah. Kakak kenapa sih norak banget pake marah-marah segala. Suka banget ikut campur sama urusan orang! Sekarang Kak Bayu dimana?"

"Mau ngapain, Va?" Mama menghentikan langkahku. "Mending sekarang kamu urus suamimu. Mama nggak tahu apa masalah kalian, tapi Mama minta tolong selesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi. Terutama kamu, Va. Keras kepalanya tolong dikurangi. Ingat, Nak, batu ketemu batu bakalan hancur. Sekarang kamu lihat kan, nggak ada yang diuntungkan dari keributan kalian, yang ada Papa malah sakit, Kakak kamu batal ikut dinas luar dan Mama juga tadi ditanyain sama Bu Endang gara-gara suara Bayu yang kedengaran sampai ujung komplek sewaktu marahin Dhoni. Kamu mau keluarga kita jadi bahan gosip lagi? Mama udah malu, Va!"

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang