Bab 6 : Cemburu

945 59 7
                                    

Suasana hening menyelimuti kepulangan kami selepas mengantar keluarga suamiku menuju bandara. Berdua dengan Dhoni yang masih dalam silent mode membuatku bosan hingga kantuk tak tahu malu datang tanpa permisi.

Aku minta bertukar posisi supaya Dhoni saja yang menjalankan mesin beroda empat ini dan biar aku yang bersemedi. Namun, permintaanku ditolak laki-laki menyebalkan itu mentah-mentah dengan alasan ia tak tahu jalan.

"Ini kan jalan yang dulu biasa kamu lewatin tiap hari, masa udah lupa? Lagian tinggal jalan lurus aja, kok. Aku ngantuk banget ini, kalau nanti nabrak, gimana?" Aku mencoba membujuk dengan tersunggut di sampingnya sambil tetap fokus menatap jalan.

"Beli kopi aja di minimarket biar ngantuknya ilang atau di Janji Jiwa. Tadi aku liat ada outletnya di perempatan sana. Aku nitip es americano ya, sama spicy bulgogy satu!"

Napas berat dan kasar langsung keluar dari hidung saat Dhoni memberiku opsi lain, yang amat jelas tidak menguntungkanku sama sekali. Aku menoleh padanya sambil mataku menyipit sebab aku tak menyangka jika Dhoni bisa semenyebalkan itu. Kalau kata orang Palembang Dhoni itu nak sekendaknyo dewe' yang artinya mau seenaknya saja. Jadi, sampai kapan sikapnya yang seperti ini akan dipertahankan?

"Udah dong ngambeknya, yang! Kamu nggak capek apa? Nggak kasian juga sama aku?" Aku memijit keningku dengan satu tangan sebab pening semakin menjalar.

Dhoni tak menjawab, atensinya teralih pada truk besar yang berjalan lambat karena tengah mengangkut sebuah ekskavator di jalur yang berlawanan dengan jalur kami sekarang. Hal ini sudah biasa karena jalan yang kami lewati adalah jalan lintas timur dan bukan merupakan jalan utama kota.

Namun, hal ini sepertinya menjadi pemandangan asing bagi Dhoni hingga ia menoleh sampai truk itu menjauh dan menjadi titik kecil lalu lama-kelamaan hilang tak terlihat. Lehernya mungkin bisa patah kalau saja aku tak menepuk bahunya. Maklum, ia sedari kecil sudah jadi anak metropolitan.

"Yang!"

Dhoni terperanjat lalu menoleh ke arahku dengan cepat.

"Jangan marah lagi, bisa?"

Tatapan mata kami bertemu untuk beberapa detik sebelum Dhoni kembali memandang lurus ke depan.

Saat ini mobil kami berhenti untuk kesekian kali karena rute jalan pulang padat merayap, berbeda dengan rute menuju bandara yang cukup lengang. Dan sebentar lagi kami akan sampai di perempatan lalu masuk ke jalan utama kota.

"Siapa yang marah?" Ia malah balik bertanya dengan ekspresi datar.

"Kamu," kataku.

Hening kembali datang, kami sengaja menahan diri untuk tak bersuara. Seperti kataku tadi, Dhoni itu suka seenaknya dan satu lagi, ia juga tak bisa ditebak. Tadi diam seribu bahasa, tapi lihat saja sekarang, ia tiba-tiba menciumi tangan kiriku semaunya sampai terdengar bunyi nyaring dan punggung tanganku basah oleh air liurnya.

Tidak hanya sebatas itu, ia juga menempelkan telapak tanganku di pipinya, kemudian mencium jari-jariku lagi dan terus seperti itu, berulang-ulang. Saat itu juga, aku bisa merasakan buku jarinya yang dingin, mungkin karena terpaan ac yang terlalu kencang.

"Aku nggak marah, Sayang."

Nada bicaranya melembut, tak lagi ketus. Ia tersenyum padaku, manis, hingga aku tak bisa menahan rona merah di pipiku. Sialan, aku tersipu. Kenapa sih aku gampang sekali luluh?

"Kalau nggak marah, kenapa dari tadi cuma diam?"

Aku menarik tanganku yang digenggamnya karena harus kembali memegang kemudi, mobil harus merayap lagi.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang