Bab 23 : Rejected

648 55 15
                                    

Setelah sambungan telpon terputus, aku merenung sejenak, mencerna wejangan-wejangan dari Mira yang sebenarnya tidak buruk dan lumayan masuk akal. Intinya setiap orang berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua.

Jika dipikir-pikir, saat aku memilih Dhoni untuk menjadi pasangan seumur hidup, maka saat itu juga aku harus menerima segala konsekuensi yang ada. Bukan hanya senang, tapi juga harus bisa menerima susah dengan lapang dada.

Kata Kak Bayu, hidup tak melulu harus langsung ketemu enak. Kadang memang perlu melewati fase menderita dulu, merasakan susahnya berjuang hingga pada akhirnya bisa menikmati hasil dari perjuangan itu sendiri. Seperti apa hasilnya tergantung dari sebesar apa usaha yang kita lakukan.

Aku dan Dhoni tak ingin berakhir menyedihkan maka dari itu ilmu ikhlaslah yang harus kuterapkan jika ingin tetap terus bersama.

Ilmu ikhlaslah yang harus aku jalankan jika lukaku ingin cepat mengering dan ilmu ikhlaslah yang harus selalu kupegang jika aku ingin berdamai dengan masa lalu. Aku tahu ini berat, tapi akan lebih berat lagi jika aku harus kehilangan seorang Dhoni.

Nyatanya hidupku juga perlu perjuangan jika aku ingin menuai suatu kebahagiaan.

Kemarin, aku hampir saja mengingkari janji yang Dhoni minta padaku sehari setelah lamarannya diterima. Ia pernah bilang padaku jika ia tak kan peduli pada apa pun yang menghantam, sebesar apa pun badai menerjang asal aku harus tetap berpegang dan percaya padanya dan meski rasa bosan pasti ada, Dhoni memintaku untuk tetap berjuang bersama.

Well, dengan mantap aku berkata bahwa aku mampu, sayangnya belum apa-apa aku sudah ingin menyerah. Nyatanya, mulut memang mudah untuk berjanji, tapi untuk tak mengingkari itu benar-benar sulit. Apalagi ketika aku sudah terbenam di dalam kubangan dosa-dosa suamiku di masa lalu.

Oke, cukup. Nggak perlu dibahas lagi tentang dosa-dosa itu.

Hari ini, aku ingin menepati janjiku padanya. Mencoba tak peduli dengan bagaimana dan sepahit apa masa lalu kami berdua. Sudah saatnya aku melepas masa lalu yang membelenggu akal pikiranku, masa lalu yang terus menertawakan aku hingga mentalku terjatuh.

Hidupku bukan lelucon, hidupku layak diperjuangkan sebagaimana mestinya.

Sandi dan Hanna biarlah berdiri di belakang garis batas masa lalu dan terlarang bagi mereka jika harus ikut bersama kami melangkah maju. Mereka memang pernah hadir dan itu dulu.

Sekarang biarkan seperti ini, hanya ada aku dan Dhoni yang sudah menjadi kita.

***

Aku sedang sibuk mengeringkan rambutku dengan hair dryer, agak terburu-buru karena takut Dhoni akan segera pulang dan mengagalkan rencana yang kususun rapi malam ini.

Setelah mendapati bahwa masa haidku telah berakhir, aku memutuskan untuk mengenakan baju haramku lagi dan memilih yang terbaik di antara beberapa baju yang aku bawa.

Gaun seksi transparan berwarna hitam dipadu dengan g-string warna senada. Cutting gaun yang sangat minim hingga nyaris membuat tubuhku terekspos sempurna.

Aku mendesah pelan setelah kuletakkan pengering rambut itu di atas nakas. Kulirik jam di gawaiku yang sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

Dhoni pulang jam berapa ya kira-kira?

Aku memutuskan untuk menghubunginya lagi lewat panggilan telpon meski sudah banyak panggilanku diabaikan olehnya. Aku menahan napas saat nada sambung mulai terdengar beberapa kali dan saat ibu jariku akan menekan tombol merah, suara berat Dhoni terdengar menggema.

"Iya, Va. Kenapa?"

"Dimana?" tanyaku singkat.

"Masih di Zuri On Top."

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang