Bab 24 : Tersisih

702 61 21
                                    

Tidak seperti malam-malam sebelumnya, kali ini langit sungguh membuatku kecewa sebab aku tidak melihat bulan yang selalu anggun menampakkan diri dengan sinarnya yang temaram. Jadilah, aku hanya bisa menghibur diri dengan memandangi titik-titik kecil cahaya kekuningan yang ada di bawah sana sembari duduk bersila.

Embun muncul saat napasku beradu pada kaca yang terbentang lebar. Dengan jari telunjuk, aku membuat bulatan-bulatan kecil lalu menghubungkannya dengan garis yang membentuk sebuah rasi bintang orion favoritku

Aku tersentak saat suara pintu kamar terbuka. Kulirik jam di gawaiku, sekarang hampir pukul satu pagi. Aku mengembuskan napas sambil memejamkan mata, suasana memang masih tampak hening, tapi atmosfernya sekarang berubah menjadi tegang sebab Dhoni sudah kembali ke kamar.

Tidak ada sepatah kata, pun jauh dari sapa. Aku yang masih duduk bersila di lantai melirik sosoknya sejenak, memutuskan mengalah dan mulai membuka suara.

"Kamu abis dari mana tadi?" tanyaku sambil berharap sebuah tatapan hangat ia beri untukku.

"Ke bawah. Merokok!"

Jangan berharap lebih, yang ada malah jawaban sinis.

"Sejak kapan kamu mulai jadi perokok aktif?"

Dhoni mengunci rapat mulutnya, tulang rahang itu mengeras seolah membeku, sulit untuk digerakkan. Jangankan melirikku sekilas, menoleh pun ia nampak tidak berminat.

Melihatnya seperti ini sudah tentu hatiku kembali tergores dan lagi-lagi aku menahan tangisku saat ia dengan tanpa dosa berjalan masuk ke kamar mandi. 

Rumit, awal pernikahan yang menyedihkan. Kesalahan-kesalahan di masa lalu kami yang harusnya sudah terkubur kini malah muncul menjadi sebuah bola salju yang semakin bergulir akan semakin membesar. Namun, kami berdua tidak mampu berbuat apa-apa. Hanya saling melempar kesalahan tanpa mau mencari jalan keluar.

Aku berdiri dengan susah payah karena kepala yang semakin memberat, berjalan tertatih dengan telanjang kaki membuat dingin terasa begitu menusuk.

"Ayo kita bicara," ajakku saat tubuh jangkungnya muncul dari kamar mandi.

"Dhoni!"

Tidak ada tanda-tanda seolah diam memang adalah emas, suara Dhoni sulit sekali untuk kudengar.

Aku yakin jika ia belum lupa kalau aku ini istrinya, tapi meski begitu Dhoni tetap mengunci rapat mulutnya. Berjalan mondar-mandir di depanku dan setelah selesai ia hanya rela memberikan punggungnya padaku.

"Dhoni! Sampai kapan kita kayak gini terus?"

Aku kadung jengkel, kesabaranku perlahan terkikis, kali ini aku memberanikan diri untuk mengguncang tubuhnya. Namun, yang kudapat hanyalah sebuah decakan.

"Nggak ada yang mau aku omongin, Va," katanya sambil menepis tanganku.

"Tapi, aku ada!"

Melihat aku yang gigih, Dhoni berusaha menahan sesuatu, terlihat dari giginya yang gemeretak dan mata yang terpejam. Ia lalu mengusap wajahnya perlahan.

"Apa?" tanya Dhoni hampir tak terdengar.

"Semuanya. Sandi dan Hanna."

Lantas ia pun menggeleng dengan senyum mengejek. "Aku capek. Please, jangan paksa aku buat bahas itu sekarang. Soal Hanna sama video itu, aku rasa udah selesai karena aku sudah berulang kali minta maaf dan janji nggak akan mengulangi, aku rasa udah cukup karena aku nggak bisa ngubah masa lalu. Kalau kamu masih nggak percaya sama aku, it's ok. Nggak masalah! Jadi, aku nggak perlu capek dan repot buat buktiin janji-janjiku tadi."

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang