Bab 3 : Rahasia

1.5K 76 14
                                    

Dhoni melajukan scoopy merah milik Mama menuju taman kota bekas peninggalan zaman penjajahan Belanda yang terletak tak jauh dari rumah. Hanya menempuh jarak sepuluh menit melewati jalan besar, kami sudah sampai di Taman Kambang Iwak, kira-kira seperti itulah orang Palembang menamainya menggunakan bahasa lokal yang artinya kolam ikan.

"Rame banget."

Sudut bibirku terangkat saat Dhoni berkata demikian.

"Iya, karena ini weekend, jadi rame. Sebenarnya kita udah kesiangan, kalau pagi bisa lebih rame dari ini. Kita bisa ikut senam. Kamu nggak pernah kesini, ya?"

Dhoni menggeleng pelan, matanya tidak fokus padaku melainkan tetap mengedarkan pandangan ke setiap sudut taman ini. Aku paham akan sikapnya karena Dhoni tidak suka keramaian, ia akan risih apalagi harus bersentuhan dengan banyak orang.

Yah, beginilah adanya. Tiap akhir pekan, taman ini kerap diramaikan oleh masyarakat penjuru Kota Palembang dari berbagai generasi, juga dari berbagai komunitas, seperti komunitas musik, sepatu roda, skateboard, sepeda, hingga komunitas tari dan teater. Dilengkapi dengan jogging track, diperuntukkan bagi mereka yang ingin jogging mengelilingi danau atau sekadar berolahraga di setiap pagi pun pada petang hari.

Aku mengunci stang motor kemudian menambahkan kunci pengaman pada cakram ban depan seperti pesan Mama sebelum kami berangkat kesini.

"Bukain, tolong." Aku agak kesusahan saat hendak melepas helm, tapi Dhoni dengan sigap membantuku melepasnya.

"Thank you," kataku saat helm itu sudah berpindah ke tangannya. Dia hanya tersenyum tanpa minta imbalan seperti yang ia lakukan tadi pagi.

Kami mulai berjalanan mengelilingi taman ini. Di tengahnya ada danau yang cukup bersih, terdapat jembatan sepanjang dua ratus meter membelah danau menjadi dua sisi.

"Mau naik jembatannya nggak, yank?" tawarku pada Dhoni.

"Nggak, nanti jatuh. Nyemplung terus mati. Enakan kamu dong bisa nikah lagi. Masih segel pula."

Hah? Aku menatapnya sinis setelah mendengar jawaban yang tak masuk akal darinya.

"Kamu kan bisa berenang?" protesku padanya.

"Aku lagi males berenang!"

Dhoni mendengus lalu berjalan mendahuluiku. Aku mematung dan hanya bisa menggelengkan kepala karena sikap bocah Dhoni sedang kumat.

Jadi, dia masih ngambek?

Aku sudah tak mampu mengimbangi langkah Dhoni, jadi aku biarkan ia berjalan sendiri asal sosoknya masih tetap dalam jangkauan mataku. Aku sudah lelah karena kami sudah tiga kali melintasi jogging track di pinggir danau. Keringat mengucur di keningku, napasku juga sudah memburu.

Terbersit rasa sesal karena aku tidak membawa air minum dari rumah hingga aku pun tergesa merogoh saku hoodie yang kupakai lalu mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu, dan menukarnya dengan dua botol air mineral yang dijual oleh ibu-ibu paruh baya yang katanya sudah hampir sepuluh tahun berjualan disini.

Sebenarnya, di taman ini ada keran air bersih siap minum. Fasilitas ini bisa dimanfaatkan pengunjung kapan saja, apalagi selepas pengunjung melakukan aktivitas olahraga. Tapi meski begitu, aku yakin Dhoni akan langsung menolak jika kuajak untuk meminumnya. Ekspresinya sudah tergambar jelas di otakku.

Aku melebarkan langkah saat Dhoni menghilang dari jangkauan mataku. Aku memindai satu per satu wajah manusia yang begitu banyak membuat leherku tak berhenti bergerak. Aku mengeluarkan ponsel dari sling bag, berniat untuk menghubungi Dhoni, tapi aku baru ingat jika suamiku itu tak membawa ponselnya.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang