Bab 29 : Insecure

550 44 5
                                    

"Dhoni, aku nggak bisa tidur!"

Bagaimana rasanya jika tubuh yang teramat lelah sangat mendamba bisa beristirahat, tapi mata menolak untuk diajak bekerja sama? Tentulah kesal pasti bercokol di rongga dada.

Tidak tahu pasti jam berapa sekarang, sejak tadi mataku enggan tertutup rapat. Gelisah dan serba salah, sampai-sampai pinggangku sakit karena sering berganti posisi di hospital bed yang bahkan lebarnya tak sampai satu meter.

Yah, bagaimana mungkin aku bisa terlelap saat kepalaku yang berat dipenuhi oleh banyak benang kusut yang mustahil aku luruskan dalam waktu semalam.

"Dhoni!" panggilku sekali lagi.

"Hm, kenapa?"

"Sini. Aku nggak bisa tidur!"

Meski pencahayaan di kamar ini tergolong minim, tapi aku bisa melihat saat Dhoni mencoba mendudukkan diri dari sofa tempat ia berbaring. Ia menggeliat kemudian menyalakan saklar lampu yang berada di dekatnya, Dhoni lantas menatapku lekat.

"Aku nggak bisa tidur," kataku sesaat setelah mata kami bersirobok. Tanpa aba-aba, Dhoni bangkit dari sofa kemudian mendekati aku dengan langkah pelan.

"Kenapa nggak bisa tidur, kepalanya masih pusing?" tanya Dhoni yang saat ini sudah berada di sisi kananku dan punggung tangannya ia tempelkan begitu saja di keningku.

Aku menggeleng, jam dinding yang sedang bergerak menuju angka satu kini berhasil membuatku berdecak sebal.

"Nggak pusing, cuma kayak ada sesuatu yang nyantol di kepala. Nggak mau ilang, udah berusaha banget biar ilang, tapi nggak bisa."

Dhoni tersenyum kecil lalu dengan sigap ia mengambil gelas bening berisi air yang ada di atas nakas. "Minum dulu!"

"Tapi, temenin aku tidur abis ini, ya?"

Setelah Dhoni mengambil kembali gelas yang sudah kosong dari tanganku, aku menggeser tubuhku dengan hati-hati agar infus yang bertengger di punggung tangan tidak terlepas lalu Dhoni segera naik ke atas hospital bed untuk berbaring bersamaku. Aku berbaring menyamping dan Dhoni pun begitu. Kami lalu berpelukan dan berbagi hangat.

"Sempit nggak, yang?" tanyaku.

"Ya, iyalah. Badan sama-sama gede disuruh tidur satu kasur kayak gini. Mana muat!"

Aku tergelitik melihat wajah Dhoni yang tertekuk. Namun, meski sedikit menggerutu, ia tetap merengkuh tubuhku agar tidak ada jarak sebagai pemisah.

"Enak aja, kamu yang gede. Aku nggak!"

Keheningan membuai kami selama beberapa menit, seolah semesta mengizinkan aku untuk membenamkan kepala di dada bidangnya lebih lama agar aku bisa menghidu aroma maskulinnya yang sejak dulu adalah candu dan aku beruntung masih bisa melakukannya sampai saat ini.

"Va!"

Kalimat singkat itu memecah keheningan dan aku refleks mendongak. Mata Dhoni memaku pandanganku sambil napas kami beradu dan jarak bibir yang setipis tisu. Berharap ada sebuah kecupan singkat yang semakin lama kian dalam, lantas aku memejamkan mata.

"Setelah kejadian ini, apa kamu yakin masih ada kebahagiaan di dalam pernikahan kita?"

Kecewa, ekspektasi tidak sesuai realita. Dhoni tidak mengecup bibirku. Ia malah membuatku terdiam dan segera membuka mata. Alisku bertaut saat medengar pertanyaan yang berhasil membuatku bingung.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang