Bab 30 : Deal

437 33 7
                                    

Dhoni kembali membentang jarak setelah mengungkapkan keinginannya untuk mengakhiri pernikahan kami. Aku tidak tahu pasti keinginannya itu adalah hal sesaat dikala emosi dalam dirinya tidak stabil atau memang sudah mantap.

Aku pun jadi tak menaruh minat pada apa pun. Kukunci rapat mulutku sebagai bentuk protes. Jika ia mengajakku bicara, hanya gelengan dan anggukan yang bisa kuberikan sebagai respons karena jika aku bersuara maka pastilah hanya sebuah isakan yang akan keluar.

Setelah beberapa hari berada di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkan aku untuk pulang ke rumah. Entah harus sedih atau senang, yang pasti saat ini perasaanku tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

"Kamu istirahat aja, biar aku yang turunin barang-barang yang masih ada di mobil."

Aku jadi semakin sering mengembuskan napas lelah sejak hari itu, juga menghindari tatapan matanya yang mengisyaratkan seolah tidak terjadi apa-apa di antara kami.

Membiarkan Dhoni yang tengah sibuk beberes, aku bergegas melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kunyalakan shower setelah satu per satu pakaian yang melekat kutanggalkan, kini tubuh polosku sudah berada di bawah guyuran air.

Pikiranku kembali menerawang, teringat kemarin ketika aku ingin menemui Sandi di kamar VVIP yang masih satu lantai denganku. Sekadar ingin say hi dan bertanya kabar. Namun, yang kudapati hanya sebuah ruang kosong yang tak bertuan.

"Pasien bernama Sandi sudah meninggalkan kamar tadi sekitar jam tujuh pagi, Bu."

Sedikit terkejut saat Sandi tiba-tiba meninggalkan kamar VVIP miliknya sementara jelas-jelas dokter memintanya untuk tetap tinggal dan menurut informasi dari suster, ia dijemput oleh seorang wanita paruh baya. Mungkinkah ibunya?

Aku sempat menanyakan perihal ini dengan Kak Bayu, tapi kakakku itu juga tidak tahu dan hingga sekarang Sandi tidak bisa lagi dihubungi seolah menghilang ditelan bumi.

Lamunanku buyar saat pintu kamar mandi didorong sedikit keras, aku tersentak kaget dan otomatis berteriak.

"Sorry, aku pikir nggak ada orang," ucap Dhoni sambil terlihat kikuk.

"Nggak ada orang gimana? Kan kamu bisa denger suara airnya dari luar," jawabku ketus.

Aku segera melengos ketika kudapati Dhoni terpaku akan kepolosanku yang sempurna. Ini pertama kalinya dan terlihat Dhoni beberapa kali menelan ludah. Darahku berdesir, tatapan Dhoni seakan menyapu kulitku hingga sukses membuat tubuhku meremang.

"Lain kali pintunya dikunci. Kalau ada orang selain aku yang tiba-tiba masuk, gimana?"

Dhoni lantas menuruh peralatan mandi yang masih terbungkus pouch pink berukuran sedang dengan tergesa, setelahnya ia berlalu dan menutup pintu kamar mandi dalam diam.

Hatiku bak ditikam belati ketika sikap Dhoni padaku tidak menunjukkan suatu perubahan sampai saat ini. Aku merasa lelah jika harus terus-terusan menghalau air mata yang akan kembali tumpah.

Pikirku, mengapa Dhoni tiba-tiba menjauh di saat aku sudah mulai membuka hati dan menerima semua dengan ikhlas atas masa lalunya? Apa ada hal lain yang membuatnya bisa berbalik arah?

"Tadi pagi Bunda telpon, nanyain kabar kamu dan kapan kita akan pulang." Dhoni yang sudah meletakkan barang-barangku kini duduk di pinggir ranjang sambil sesekali mengusap layar smartphone kesayangannya. Sepertinya ia chatting dengan ibunya.

"Aku bilang lusa dan aku udah pesen tiket buat satu orang," jelasnya dengan sedikit terbata.

Aku menelan ludah dengan susah payah saat kalimat Dhoni berhasil menikamku untuk yang kesekian kali. Kakiku hampir limbung, tapi aku berusaha mendekatinya dengan tubuh yang hanya terbalut bathrobe dan kini aku sudah berdiri di hadapannya dengan napas yang memburu.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang