Bab 8 : Ingin Berhenti

1K 70 15
                                    

Bodohnya aku yang hanya mengira bahwa Dhoni dan Hanna hanya sebatas membicarakan perihal sedang apa dan sudah makan atau belum saat menjalin hubungan di belakangku, hingga aku tak menyadari bahwa mereka sudah sama-sama dewasa dan pasti punya cara yang berbeda untuk mengekspresikan rasa cinta.

Aku tak pernah mengira jika Dhoni bisa seberengsek itu. Mengingat, ia selalu memperlakukanku sebagai gadis baik-baik. Dhoni tak berani menyentuhku terlalu jauh, apalagi sampai membuka bajuku. Namun, dengan Hanna, ia malah gemar bergumul di ranjang tanpa busana.

Jadi, kata apa lagi yang pantas kuberikan untuk melabeli dirinya selain bajingan, berengsek dan bangsat?

Jika masih ada, silakan mengumpati laki-laki yang bernama Ezra Ramadhoni itu sesukanya, aku tak marah. Malah aku amat senang.

Sahabatku pernah bilang kalau Dhoni bukanlah laki-laki yang punya track record mulus dalam hal percintaan. Dhoni itu bad boy, perempuan baginya bak hidangan prasmanan, berjejer rapi kemudian ia tinggal memilih. Mengambil mana yang ia suka dan mungkin aku termasuk di dalamnya.

Kalau sudah tahu Dhoni seperti itu, kenapa masih mau?

Entah, aku pun tak tahu. Aku seperti dihipnotis. Bahkan dulu aku sudah berjanji pada diriku sendiri jika aku tak akan lagi memberi muka pada Dhoni. Pertahanan itu nyatanya hancur ketika ia berlutut dan tersunggut di depanku.

Aku menoleh lagi padanya sampai aku lupa untuk memandang lurus ke depan, membuat mataku tak seiring dengan langkah kakiku. Akibat kebodohanku, aku terjatuh, bukan jatuh seperti biasa, tapi aku jatuh cinta. Lagi, untuk kesekian kalinya.

"Berapa kali, Dhoni?"

Jika sejak tadi siang Dhoni menyecarku dengan pertanyaan konyol, kali ini giliran aku yang mengadilinya.

Kepalanya tertunduk, tak berani ia angkat. Tadi bibirnya terbuka seperti hendak menjawab, tapi sejurus kemudian bibir itu kembali rapat. Dhoni memang ahli berkamuflase menjadi pengecut jika aku sudah membicarakan masa lalunya.

"Jawab! Sudah berapa kali kamu tidur sama Hanna?!"

Sudah kepalang basah, akhirnya aku menenggelamkan diriku ke dalam genangan kotornya masa lalu suamiku.

Seiring dirinya kuhujami pertanyaan tiada henti, napas Dhoni tercekat, ia terlihat gusar. Sudah berkali-kali suamiku yang berengsek ini menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang kering. Dan sekarang ia pelan-pelan menyentuh pipiku yang basah. Mengusap air mataku yang mengalir deras tanpa ada rasa bersalah.

"Aku nggak pernah kayak gitu. Semua tudahan itu nggak benar. Jangan percaya sama omongan orang, kamu harusnya cuma percaya sama aku."

Lihatkan! Mana ada maling yang mau ngaku, bisa penuh penjara kalau begitu. Polisi juga akan makan gaji buta.

"Itu yang aku coba lakuin dari dulu, berusaha percaya sama kamu. Tapi semua usahaku kayaknya sia-sia setelah aku melihat dengan mata kepalaku sendiri."

Dhoni mengernyit bingung. "Maksud kamu apa? Apa yang sudah kamu lihat, Va?"

"Jangan pura-pura bodoh, Dhoni!"

Aku mendorong tubuh suamiku hingga ia bertolak mundur. Segera kuraih ponsel yang kusimpan di bawah bantal, lalu dengan cepat mengusap layar benda persegi panjang itu dengan tangan dan bibir yang bergetar.

Air mata tak berhenti jatuh di atas layar ponselku saat aku berusaha kembali membuka room chat nomor asing itu dan segera mencari video yang dikirim olehnya tiga hari sebelum acara pernikahan kami.

"Ini kamu sama Hanna, kan?"

Keterpaksaan mendorongku untuk memutar lagi video itu, mati-matian menahan rasa mual dan ingin muntah. Aku juga menunjukkan foto tak senonoh mereka berdua, yang tadi baru saja kudapat.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang