Bab 31 : Surprise

439 28 3
                                    

Aku tidak tahu bagaimana semua ini bermula dan seolah kami lupa kalau tadi baru saja terjadi pertengkaran yang menguras emosi dan menyulut amarah. Sekarang yang terdengar hanyalah bunyi decak nyaring dan deru napas yang cepat, mengalahkan detak jam dinding yang sejak tadi bernyanyi dalam sunyi.

"Sayang!"

Raut wajah kecewa terpancar jelas dari sosok laki-laki yang sedang terengah di depanku. Ia mengerang bak singa kelaparan kemudian kembali menarik leherku dengan tak sabar. Namun, aku mendorong dadanya dan sontak ia pun berdecak.

Aku tahu dia kesal dan sekarang Dhoni menatapku dengan mata yang berkobar, bukan api amarah melainkan syahwat yang sudah memuncak.

"Nanti dulu, kasih jeda. Aku nggak bisa napas," jelasku dengan terengah.

Aku menghirup udara sebanyak yang aku bisa sambil memegangi dadaku yang naik turun. Berbeda dengan Dhoni yang enggan melepas tatapannya padaku seolah menungguku siap kembali ke medan tempur.

"Maaf, sayang. Kali ini aku nggak bisa nunggu lama."

Lengan kekar itu dengan sigap mengangkat tubuhku dengan satu gerak cepat. Aku terkesiap dan kaget. Sontak kulingkarkan kembali kedua lenganku di lehernya. Bathrobe yang kukenakan pun sedikit tersingkap saat Dhoni membaringkan tubuhku di atas ranjang.

Tidak ada seringai mesum atau tatapan menakutkan yang membuat bulu kuduk berdiri, Dhoni kali ini nampak seksi walau belum ada satu pun pakaian yang terlepas dari tubuhnya. Aura kelelakiannya menguar begitu kuat seakan memberi tahu jika ialah satu-satunya sang pemilik tubuh ini dan tugasku sekarang hanya patuh pada perintahnya.

"I want you, Va." Dhoni berbisik tepat di telingaku.

Desiran aneh mulai terasa mengalir dalam darah. Napasku tercekat, terasa sulit menelan ludah bahkan aku tidak tahu bagaimana menyembunyikan semburat merah yang membuat pipiku semerah tomat.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Dhoni sekarang sudah ada di atasku. Ia bertumpu pada kedua lengannya agar tidak menghimpit tubuhku. Kini napas kami beradu juga mata yang menunjukkan kobaran rindu, terasa begitu panas saat diri memberi sinyal bahwa kami sudah saling mendamba.

"Boleh ya, Va?"

Bahkan sebelum aku menjawab pun Dhoni kembali memagut bibiku, kali ini kasar dan menuntut. Aku yang amatiran tak mampu mengimbangi permainannya yang ekspert. Hanya bisa pasrah saat Dhoni memegang kendali permainan ini.

Di sela bibirnya menyesap lembut bibirku, tangan besarnya kini mulai berani menyusuri tiap jengkal tubuhku. Usapannya pelan, tapi berhasil membuat tubuh ini terasa panas dan terbakar. Sendi-sendiku seolah terkunci, aku tidak bisa bergerak.

Dengan satu hentakan, simpul bathrobe di pinggangku kini sudah terlepas, Dhoni pun menyeringai puas. Terpaan udara dari pendingin ruangan mulai membelai kulit dadaku hingga kaki yang tak berpenghalang, polos tanpa sehelai benang.

"Kamu punyaku, Va!"

Kecupan-kecupan itu semakin kasar, Dhoni sekarang sudah di luar kendali. Matanya terpejam, tapi mulutnya terus saja meracau. Aku tahu ini hal yang teramat ia inginkan, tapi aku tak pernah menyangka jika rasa yang ditimbulkan akan segila ini. Dhoni terlalu bersemangat menikmati semua seakan hari esok tak lagi ada.

"Dhoniih...."

Aku gugup setengah mati saat Dhoni mulai menyusuri leher jenjangku dan tak ragu menyesapi kulit leher itu. Kecupannya terus menjalar ke tulang selangka, terus turun hingga berhenti di salah satu puncak dadaku, membuat tubuhku bergetar hebat.

Desah kecil lolos menggundang tawa. Tangan besar itu kini semakin getol merabai paha dalamku, membangkitkan hasrat yang selama ini terkubur. Jari lentiknya sudah terlatih, aku yakin Dhoni sudah paham dimana letak titik sensitif pada seorang wanita sebab dia bukan perjaka melainkan sang cassanova penakluk wanita.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang