Bab 22 : Lonely

636 56 11
                                    

Kemarin aku sempat membaca sebuah quote yang berhasil membuat pipiku pedas dan hatiku benar-benar tercubit. Kalimatnya sih simpel, tapi ngena banget. Bukan dari bahasa belahan benua lain, tapi cukup keren karena berhasil membuatku tersinggung.

Entah itu hanya sebuah kebetulan atau Tuhan sengaja membuatnya lewat di feed instagramku, yang pasti kalimat-kalimat itu berhasil membuatku menertawakan diri sendiri.

Nggak ada yang tahu seberapa susahnya proses menyembukan diri ketika sedang hancur-hancurnya, seberapa beratnya harus menerima apa yang terjadi, seberapa banyaknya air mata yang terkuras, fase itu pasti ada tapi ingat, secukupnya saja. Setelahnya, silakan kembali melanjutkan hidup.

Aku berdecih saat teringat kalimat terakhir yang sangat bertolak belakang denganku. Lihat saja sekarang, bukannya melanjutkan hidup, aku masih berlarut dengan kubangan masa lalu membuat hidupku stuck alias jalan di tempat, padahal kegiatan receh bagi pengantin baru bisa jadi hal yang romantis, apa lagi sampai bisa jalan-jalan ke tempat indah di berbagai penjuru dunia.

"Kita mau kemana, Dhoni?" Tidak ada jawaban dan aku mulai memberengut sebal.

Aku bertanya pada diri sendiri di tengah kesunyian yang mendominasi. Apa kemarin aku berlebihan? Masa sih? Sex tape loh ini. Hal yang sangat-sangat asing di kehidupan pribadiku sebab sex after married adalah hal yang selalu kujadikan prioritas, tapi Dhoni melakukan semua itu dengan mudah, tanpa ikatan pernikahan.

Jujur, dari lubuk hati yang terdalam aku teramat kecewa, sedih juga marah. Buatku, masalah ini terlalu berat jadi, maklum saja jika dalam menghadapinya banyak emosi dan air mata yang terkuras. Dan perihal Sandi, mungkin memang aku agak sedikit berlebihan.

Akan tetapi, jika kehilangan Dhoni adalah hal yang sangat menyakitkan maka aku harus membayarnya dengan merelakan diriku menelan pil pahit masa lalu sampai aku terbiasa dan pulih dengan sendirinya.

Aku berkali kali menghembuskan napas panjang sampai-sampai Dhoni yang tengah duduk di sampingku melirik sedikit lewat ekor matanya, seolah terganggu dengan kegitanku. Sepertinya, ia masih enggan menerima keikutsertaanku pada perjalanannya kali ini yang entah kemana sebab sejak tadi ia mengunci rapat mulutnya.

Aku sudah berkali-kali bertanya kemana tujuan laki-laki ini, sampai aku bosan dan berhenti saat matanya mendelik ke arahku. Aku memutuskan untuk menikmati perjalanan dengan melempar pandangan ke arah luar. Sekarang taksi yang Dhoni pesan via aplikasi berhenti di lampu merah membuat diriku harus bergelut dengan ingatan liarku tentang cerita Mama tadi pagi sebelum kami berangkat.

Mama bilang kalau Dhoni menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari kakakku selepas kepulangannya mengantar Papa dari rumah sakit. Kak Bayu melimpahkan semua kekacauan ini pada Dhoni padahal aku juga turut andil. Kak Bayu emosi dan dengan tanpa pikir panjang mengkonfrontasi Dhoni dengan seenaknya

"Baru nikah berapa hari lo udah enggak becus jadi laki. Mending Sandi, jauh banget perlakuannya ke adik gue dibanding lo."

"Harusnya lo sadar, Bro! Betapa susahnya dapet restu dari Papa. Lo pikir sehebat apa diri lo sampai Papa ngijinin lo masuk ke keluarga ini kalau bukan Ziva yang mohon pake cara kekanak-kanakan. Lo tuh orang asing yang tiba-tiba muncul, gara-gara lo, pernikahan Ziva dan Sandi gagal, padahal sahabat gue udah bela-belain buat pindah keyakinan! Dan gara-gara lo juga, keluarga kita dicap buruk sama orang-orang. Papa jadi sering sakit saat lo masuk di keluarga ini. Bukannya senang, kita malah makan ati!"

"Gue udah tahu track record kehidupan lo kayak apa di Jakarta, lo itu bajingan. Gue udah tau semuanya dari Sandi."

Mengapa saudara kandungku satu-satunya itu selalu bicara seenaknya dan tidak pernah memikirkan dampak dari kalimat-kalimat jahatnya yang teramat menyakitkan.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang