Bab 27 : Bom Waktu

707 45 4
                                    

Dhoni melangkahkan kakinya keluar dari ruang VIP dengan kepala yang tertunduk lesu. Wajah pucat serta mata sayunya semakin terlihat jelas sebab saat ini rasa lelah semakin menggerogoti tiap-tiap sendi pada tubuhnya.

Napas berat yang ia keluarkan adalah tanda kalau ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Bukan hanya cecaran dari Bayu, tapi omongan Papa mertua juga berhasil menyentil hatinya hingga membuatnya semakin sadar jika keteledorannya kemarin bisa membuat dirinya kehilangan perempuan yang dulu cintanya pernah ia perjuangkan mati-matian dan bahkan sekarang pun tetap demikian.

Kalimat Papa mertuanya terdengar jelas, Dhoni bahkan bisa merapal kembali tiap-tiap baris kata yang keluar. Pendek, tapi sukses membuatnya tremor.

"Papa harap Nak Dhoni sadar kalau Nak Dhoni sudah jadi kepala rumah tangga dan kalau pun itu dirasa berat, Nak Dhoni boleh balikin Ziva sama Papa."

Ultimatum langsung yang diberikan padanya menjadi tamparan keras. Raut wajah kecewa dari sang mertua juga membuat dirinya semakin merasa berdosa.

Dhoni sungguh paham jika jalan hidup memang tak melulu mulus. Di usianya yang di penghujung kepala dua, sudah barang tentu ia telah banyak makan asam garam. Namun, untuk masalah rumah tangga ia teramat buta dan masih meraba. Sikap keras kepala dan ego tinggi yang ia punya tidaklah cocok diterapkan jika ingin rumah tangganya damai.

"Pak, saya sudah di bawah. Tolong cepat ya, Pak. Mau meeting."

Tadi, ia meminta Fayas untuk mengambilkan pakaian ganti di kamar hotel sebab tubuh yang sehabis berlari kencang itu kini berpeluh dan bau.

Di telpon, Fayas bilang kalau ia sudah hampir sampai, nyatanya Dhoni lebih memilih mendudukkan bokongnya lebih lama di kursi besi yang ada di koridor rumah sakit.

"Padahal gue mau minta temenin makan, Yas. Gue juga lagi sakit nih. Lo nggak kasian sama gue?"

Ia sudah tidak punya tenaga, kakinya teramat berat untuk menemui Fayas di lobby. Dhoni juga sadar jika perutnya sudah berteriak lapar, tapi laki-laki itu tetap tidak berselera karena sekarang yang ia butuhkan bukan makan dan minum, melainkan hanyalah sedikit waktu untuk merenung.

Ada desah samar saat ia tidak lagi mendapat balasan, jadilah Dhoni hanya bisa mengendikkan bahu kemudian mencoba bangkit dengan sisa tenaga yang ada.

Setelah kakinya terayun keluar dari lift, Dhoni segera menuju lobby untuk menemui Fayas yang sejak beberapa detik lalu sudah menggerutu sebal.

"Ya elah, Yas, gitu doang udah misuh-misuh."

"Saya udah telat balik kantor, Pak. Gimana kalau saya dipecat, bawahan kayak saya yang nggak punya backingan mah bisa apa?" kata Fayas sembari mengangsur sebuah paper bag pada Dhoni.

"Emang meeting apaan, sih? Kayaknya penting banget," tanya Dhoni penasaran.

"Yang namanya meeting ya udah pasti penting, Pak. Katanya mau ngebahas program pemasaran produk yang bakal launching bulan depan. Makanya Pak, buruan masuk kerja biar tau perkembangan kantor."

"Males banget, gue masih cuti, tapi bener nih lo nggak mau gue traktir makan? Bolos sekali-sekali nggak apa-apa, Yas. Apa nggak sakit kepala lo mikirin strategi pemasaran yang dituntut harus perfect? Sedangkan atasan lo cuma bisa marah-marah nggak jelas," ucap Dhoni tanpa beban, sedangkan Fayas hanya bisa menggelengkan kepala saat mendengar saran sesat dari seorang General Manager di perusahaan penyedia layanan telekomunikasi terbesar di negeri ini.

"Istighfar, Pak. Jangan ngajak sesat!" balas Fayas dengan ekspresi kesal sementara Dhoni hanya bisa tergelak.

"Canda, Yas. Serius amat idup lo. Eh, by the way, thanks ya Yas udah mau direpotin."

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang