Bab 39 : Gelap

843 33 0
                                    

Berpuluh-puluh andai yang kini mengakar di kepala. Sesal memang selalu terbit di ujung waktu. Namun, jika boleh aku memilih, mungkin aku tak ingin mengenal laki-laki bernama Sandi. Bukan tentang hal buruknya yang aku sesalkan, tapi sebuah kesalahan yang memang sengaja aku ciptakan. 

Kak Bayu benar, jika aku sendiri ragu pada hatiku lantas untuk apa aku menerima semua kesenangan yang diberikan oleh Sandi padaku. Hanya untuk suatu penghibur di kala hatiku rapuh? Aku rasa itu memang terdengar kejam. Namun, itulah realitanya. Dan sekarang aku sedang menikmati hukumanku...

Sandi yang sedang menyesapi tiap jengkal kulit leher hingga tulang selangkaku kini mengerang tiada henti. Bulu romaku meremang, bibirku bergetar. Isak yang tadi keras kini semakin tak terdengar.

Bukan aku lantas menikmati, hanya saja luka yang diciptakan Sandi sudah teramat dalam. Menimbulkan sesak yang kian detik, kian menyiksa hingga tubuhku tak mampu lagi menghalaunya.

"Bagian mana yang sudah tersentuh oleh tangan kotor suamimu, Va? Di sini atau di sini?" erangnya sambil tak henti mendaratkan ciuman pada tiap jengkal kulitku. Perlahan, kecupan itu turun pada sesuatu yang bukan miliknya. 

Tangan besarnya yang memegangi kedua lenganku tak memberi ruang bagiku untuk bergerak. Panasnya neraka seolah sudah bisa kurasakan karena kecupan Sandi bagai bara api yang membakar kulit.

"Kak, lepasin. Aku minta maaf! Tolong jangan."

Andai ia sadar jika aku sekarang sedang memelas agar luka lama yang berhasil ia tutup, tidak kembali menganga.

Lenguhanku tertahan ketika lidah Sandi dengan cepat menyapu kulit dadaku. Embus napas kasarnya mengoyak telinga, menyuruhku selalu sadar jika yang sedang terjadi adalah nyata.

"Orang yang salah harus dikasih hukuman, Va. Kayak si Dhoni yang sebentar lagi bakal membusuk di penjara."

Dulu, laki-laki ini berprinsip bahwa sopan santun adalah harga mati. Sekarang, semua itu bukanlah sebuah prinsip yang patut diangkat tinggi. Meletakkannya paling atas demi menjaga nama baik keluarga yang terkenal sebagai dermawan.

Kini, ia dengan berani menggerogoti sesuatu dari yang bukan miliknya, secara paksa dan tidak berperikemanusiaan. Aku tahu kalau salahku begitu besar, tapi apakah aku layak diperlakukan seperti ini?

Aku terpekik, darahku seketika berdesir hebat kala tangan Sandi tiba-tiba meraba pahaku dan sedikit memberi remasan di sana. Sentuhan itu seperti sengatan listrik dengan daya ribuan volt.

"Cuma sekali. Aku minta ini cuma sekali, Va," racaunya.

Sandi berdiri sejenak dan seolah tak ingin membuang waktu lebih lama, ia sudah berhasil menanggalkan celana jeans yang sejak tadi masih melekat di tubuhnya.

"Jangan! Jangan!" teriakku histeris saat melihat Sandi kembali mendekat, tampilannya yang sekarang membuatku panik setengah mati. 

"Aku akan lapor polisi kalau sampai Kak Sandi berani ngelakuin itu!" teriakku lagi, tepat di depan wajahnya.

Sandi tak acuh. Ia bahkan menatapkku dengan sorot dingin. Namun, belaian tangannya sekarang tengah menghapus jejak air mata yang membasahi pipiku.

"Salah satu alasan kenapa aku nggak rela kalau kamu dimiliki sama laki-laki lain adalah karena kamu terlalu cantik dan aku nggak pernah sekali pun bosan sama semua yang ada sama kamu, Va."

"Aku udah berusaha lupain kamu, tapi aku nggak bisa. Mungkin aku terlalu sayang. Jangankan harta, nyawaku pun rela kuberi buatmu. Aku nggak pernah segila ini sama perempaun. Cuma sama kamu."

Usapan di wajahku terhenti dan mata itu semakin dalam menyorotku. Hening, embus napas kami beradu di udara.

"Tapi kenapa kamu nggak ngerasain hal yang sama?" Tanya itu terdengar begitu menyayat hati.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang