Bab 13 : Penuh Sesal

702 42 2
                                    

Dhoni terkekeh sendirian di ruang tengah sambil menonton televisi di kediaman keluarga sang istri yang baru saja empat hari ia persunting. Suara tv sejak tadi menggema, mempertontonkan sketsa komedi yang dikemas apik hingga memecah gelak tawa.

Para pelakon yang merupakan artis papan atas terkenal sering wara-wiri di dunia entertainment bisa membungkus hal biasa menjadi bahan humor yang anti mainstream, tanpa ada unsur menghina fisik dan menyinggung orang lain seolah memberikan angin segar bagi Dhoni yang jarang sekali tertarik menonton tv.

Jujur, acara itu termasuk acara favoritnya saat luang. Ia tunggu-tunggu tayangnya untuk sekadar hiburan membuang penat, bahkan ia kadang menonton siaran ulangnya di kanal youtube jika ia sedang dilanda rasa bosan.

Ya, Sesuka itu dia. Namun, sekarang bukan, bukan acara komedi itu yang mengocok perutnya hingga membuatnya geli, melainkan kehidupan pernikahannya yang tak layak disebut bahagia. Jangankan bulan madu, istrinya sekarang saja tidak sudi untuk ia sentuh.

Laki-laki tampan yang sejak tadi berselonjor di sofa itu sudah tidak punya tenaga, napas kasar berkali-kali berembus dari hidungnya. Kesal, marah, perasaannya kini campur aduk. Namun, ia tak bisa berbuat banyak, bahkan bisa dikatakan tak berkutik.

Sekelebat pertanyaan datang ketika hati dikuasai rasa penasaran yang teramat mendominasi diri, siapa sebenarnya yang membongkar aibnya pada sang istri? Apa salah satu musuh-musuhnya yang selama ini ingin menendangnya keluar dari perusahaan? Atau mungkin Hanna, persis seperti istrinya kira. Ah, berspekulasi seperti ini adalah salah satu hal yang paling ia benci.

Suara televisi masih menemani kesendiriannya. Sebenarnya, ia tidak menonton televisi, tapi benda itulah yang menontonnya sejak tadi.

Menatap nanar pintu kamar sang istri yang seharusnya menjadi tempat mereka memadu kasih. Zivana, istrinya ada di sana. Tidak terlihat batang hidungnya sejak tadi, saat laki-laki itu merengek lapar.

Perut yang sejak pagi belum sama sekali diisi makanan, hanya tiga botol air yang ia habiskan, menjadi pengalih perhatian otak agar terasa kenyang, tapi itu tidak bertahan lama.

Sebenarnya, tidak ada siapa pun di rumah ini selain mereka berdua. Dhoni bisa saja dengan bebas membuka lemari pendingin dan mengambil beberapa isi untuk mengganjal perutnya. Namun, ia tetap saja segan. Tidak terbiasa mengambil milik orang lain tanpa izin, ia merasa seperti diawasi.

"Va, ayo dong bikinin indomie!"

"Sayang, aku laper!"

Lagi, ia memanggil istrinya dari luar, merengek seperti bayi yang kehausan. Menunggu beberapa saat, barang kali sang istri akan menyahut dan segera keluar dari sarangnya, tapi yang ditunggu tetap tidak nampak batang hidungnya.

Sepuluh menit berlalu, ia sudah tidak tahan menunggu. Tangannya meraih remote, mematikan siaran televisi yang sejak tadi sudah bertukar menjadi acara yang tidak berbobot. Ia bangkit dari sofa dan segera menuju kamar sang istri dengan hati yang dongkol. Ia ingin kembali marah karena perempuan itu mengabaikannya.

Tergesa-gesa melangkahkan kaki memasuki kamar, darahnya sudah naik karena terbayang akan wajah tanpa dosa milik Ziva yang sejak tadi abai padanya, ia tidak suka. Tangannya memutar knop pintu dengan cepat lalu mengayun pintu kamar dengan sekuat tenaga dan memasang wajah garang. Dhoni seperti akan menelan istrinya bulat-bulat.

Setelah pintu terbuka, sunyi begitu kentara, hanya terdengar nyanyian dari detak jam dinding yang ada. Perkiraannya meleset, tidak ada Ziva dan wajah innocent yang menyebalkan seperti yang ia bayangkan. Di dalam kamar itu, istrinya meringkuk di dalam selimut tebal dengan napas yang teratur.

Amarahnya tertahan, langkahnya melambat saat ia mendekati ranjang. Perlahan ia duduk di sisi kanan sang putri tidur tanpa permisi hingga kasur itu sedikit tenggelam karena menopang tubuhnya. Seolah tak terusik, sang putri tidur tetap pada posisinya.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang