Bab 16. Benar Atau Salah

542 35 5
                                    

"Va, ayo makan!"

Terhitung sudah dua kali Mama masuk ke kamar hanya untuk mengajakku makan. Berbeda dengan yang pertama, kali ini Mama datang dengan membawa sepiring nasi dan segelas air lengkap dengan kerupuknya. Nasi serta lauk yang dibawa Mama sebenarnya adalah favoritku, tapi sekarang aku benar-benar tidak bernapsu untuk menyantap semua itu.

"Aku nggak laper, Ma." Aku menolak sopan perintah Mama, tapi tetap saja Mama tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.

"Makan dikit aja, Va! Biar bisa minum obat, badan kamu panas ini, jangan bikin Mama kepikiran!"

Mama kembali meletakkan punggung tangannya di keningku lalu setelahnya mengambil tempat di pinggiran ranjang dan bersiap menyuapiku.

"Aku nggak demam!"

Padahal tubuhku sudah benar-benar tidak mampu untuk bangkit dari tidur, kepalaku juga pening, tenggorokan rasanya seperti terbakar. Kurasakan panas di sekujur tubuh, bertolak belakang dengan kakiku yang dingin dan menggigil.

Mama sudah tahu kalau aku tidak pandai berbohong, maka dari itu, ia tidak mempedulikan ocehanku sedikit pun. Ttidak berlaku tawar menawar, pokoknya aku harus menghabiskan sepiring nasi yang ada di depanku sekarang.

"Mama sudah telpon ibunya Dhoni, tapi katanya Dhoni nggak ada. Berarti suami kamu kemungkinan besar masih di Palembang."

Aku kaget, berusaha duduk dengan segala tenaga yang tersisa dan pening langsung terasa menghantam kepala. "Jadi, Mama nelpon Bunda?"

Mama hanya menganggukkan kepala lalu dengan agak memaksa melesatkan satu suapan penuh nasi dan ayam kecap ke dalam mulutku.

Hambar, aku tidak bisa mengecap rasa apa pun. Aku mengunyah makanan sambil menatap lurus dinding yang ada di depanku. Pikiranku tidak bisa fokus, sudah bercabang kemana-mana. Yang tadinya hanya memikirkan Dhoni, sekarang harus memikirkan mertuaku juga.

Apa pandangan mertuaku terhadap diriku nanti? Bukankah bertengkar hebat dalam suasana bulan madu bukanlah hal yang patut untuk dibanggakan? Yang ada hal itu sangat memalukan, apa lagi anaknya sampai kabur-kaburan.

"Mama tahu nggak tindakan itu bisa bikin masalah tambah runyam?" Mama diam seolah aku tidak  mengatakan apa pun, memilih tetap fokus pada piring dan sendok yang bunyinya sangat menyebalkan.

"Dhoni itu anak kesayangan ibunya, kalau Bunda Ratna khawatir gimana? Mereka pasti mikir yang nggak-nggak ke aku, Ma!"

Mama mengurungkan niat menyuapiku dan meletakkan kembali sendok yang sudah ia isi dengan nasi di atas piring.

"Memangnya kamu bukan anak kesayangan Mama? Kamu juga masih punya orang tua! Mama mana tahan ngeliat kamu nangis gara-gara laki-kaki, untung udah jadi suami! Harusnya Mama yang kecewa sama keluarga mereka, kenapa Dhoni nggak diajarin sopan santun! Gimana Mama sama Papa bisa tenang ngelepas kamu ke Dhoni kalau perlakuan dia sama kamu udah nggak ngenakin begini!"

Aku terdiam saat melihat Mama mendengus kesal. "Kalau Dhoni nggak pulang malam ini, Mama sama Kakak kamu mau bikin peringatan sama keluarganya!"

Ultimatum Mama terdengar jelas dan tidak main-main membuatku semakin takut dan gelisah. Entah mengapa aku merasa berdosa pada Dhoni sebab ia sudah dipandang buruk oleh Mama. Itulah sebabnya mengapa Dhoni sangat melarangku untuk menceritakan masalah apa pun pada orang lain termasuk orang tuaku sendiri.

"Mau ngapain, sih, Ma? Ini masalahku sama Dhoni. Kalian nggak perlu ikut campur, bawa-bawa Kak Bayu pula. Bukannya selesai, masalah malah makin panjang."

Tidak ada jawaban atas protesku karena ucapan Mama tidak bisa diganggu gugat. Sejurus kemudian Mama langsung berdiri sebab aku sudah menolak untuk disuapi. Mama lantas keluar kamar meninggalkan obat penurun demam dan segelas air di atas nakas tanpa sepatah kata.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang