Bab 11 : Help Me

746 54 16
                                    

Mataku masih basah saat aku terburu-buru mengayunkan kaki keluar rumah, mencari pertolongan pada siapa pun yang sudi tanpa berat hati meminjamkan ponselnya padaku saat ini.
Hanya satu nama yang menjadi tujuanku sekarang yaitu Dhoni.

Setelah menutup pagar, aku segera menuju rumah Bik Amah, perempuan yang dulu pernah bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah kami. Sekarang ia sudah membuka usahanya sendiri berupa warung kelontong yang sudah hampir empat tahun berdiri.

Berjalan gontai sambil tak hentinya tanganku mengusap air mata yang berlinang. Tak kuhiraukan saat ibu-ibu komplek menatapku dengan wajah penuh tanya serta ekspresi yang mengernyit bingung.

Huh! Berdoa saja, semoga setelah ini aku tak menjadi bahan ghibah para ibu-ibu berdaster itu lagi, seperti dulu saat aku dan Sandi gagal naik ke pelaminan.

"Assalamualaikum, Bik!"

Aku berusaha menghatur salam, meski saat ini suaraku sudah berubah sengau dan persis seperti robot.

"Eh, Mbak Ziva. Waalaikumsalam. Kenapa, Mbak?" sahut Bik Amah dengan logat jawanya yang khas. Wajahnya tetap tenang bahkan setelah menatap sosokku berdiri tegak yang kentara sedang dilanda gundah gulana.

"Anu, Bik. Aku bisa minta tolong nggak?"

"Minta tolong apa, Mbak? Eh, masuk dulu yuk."

"Nggak usah, Bik. Aku kesini cuma mau pinjam hape."

Alis Bik Amah bertaut, menampakkan wajah bingung kemudian balik bertanya padaku, sekadar meyakinkan kalau telinganya tak salah dengar.

"Hape?"

"Iya, Bik," kataku dengan senyum kaku. Dalam hati aku sudah menjerit malu.

"Untuk apa yo, Mbak?"

Sungkan sekali sebenarnya, tapi mau tak mau aku harus mengatakannya. "Aku mau nelpon suamiku, ada urusan penting, tapi apeku rusak. Mama sama Papa nggak ada di rumah, jadi aku bingung mau pinjam hape siapa."

Jujur, aku sudah jarang bertemu Bik Amah dan sekarang aku malah datang tiba-tiba dan langsung meminta bantuan darinya. Sungguh tak tahu malu sebenarnya, aku juga sungguh tak enak hati saat mengatakan maksud dan tujuanku datang kemari.

"Oh, ya sudah. Tunggu ya! Mbak Ziva duduk aja. Bik Amah ambil hape dulu."

Perempuan yang berbeda generasi denganku itu masuk ke dalam rumah sedangkan aku mendudukkan bokong di bangku panjang yang terbuat dari bambu yang terletak di depan warungnya.

Tak berselang lama, Bik Amah keluar dengan tangannya yang sudah terulur padaku, menyerahkan sebuah ponsel Nokia berwarna hitam tipe 105.

"Ini, Mbak!"

Melihat benda kecil persegi panjang yang kini sudah berpindah ke tanganku, aku kembali bersemangat, bibirku juga tersenyum senang.

"Aku pake bentar ya, Bik!"

Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menekan nomor ponsel suamiku. Harap-harap cemas saat menunggu telponku tersambung. Kuku jari tanganku pun tak hentinya kugigit-gigit kecil.

"Maaf, pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini. Segera untuk melakukan pengisian ulang!!"

Aku tak bisa menahan umpatanku setelah mendengar suara operator dari seberang telpon. Bisa-bisanya di saat genting seperti ini keadaan tak mau berpihak padaku. Jangan bilang ini adalah sebuah hukuman sebab aku sudah abai terhadap kewajibanku sebagai seorang istri.

Aku lupa kalau sekarang keberkahan hidup dan surgaku tak lagi berada di telapak kaki Mama, melainkan telah berpindah pada ridho seorang suami. Namun, jangan harap aku akan mencium kaki Dhoni sewaktu ia pulang nanti.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang