Bab 33 : Terjebak Masa Lalu

513 32 2
                                    

"Aku nggak tahu kenapa kamu dengan mudah menjadi apatis seolah ini adalah akhir dari hidup kamu. It's ok  kalau aku terpaksa harus berjuang sendiri karena aku masih punya harapan besar sama pernikahan ini dan aku nggak akan berhenti buat nunggu kamu sampai kapan pun."

Bau aspal basah menggelitik indera ciumku saat kulajukan mobil di tengah padatnya jalanan kota. Hiruk pikuknya tergambar jelas walaupun kaca mobilku tengah tertutup rapat dan sedikit terhalang oleh rintik-rintik hujan. Kunyalakan mp3 agar suasana tidak didominasi sepi, tapi nyatanya diri ini tetap menangis sedih.

Kalimat yang mengisyaratkan perpisahan itu kembali terngiang dan yang membuat pilu adalah raut wajah pasrah serta kepala yang tertunduk seolah isi dunia tidak ada lagi yang bisa ia tatap.

Aku paham jika situasi saat ini benar-benar tidak bisa membuat Dhoni berpikir jernih. Terang saja, mentalnya sedang jatuh, kepercayaan dirinya juga sedang krisis alhasil ia putus asa, menerima tanpa mau gigih berusaha.

Jadi, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menghirup udara sebanyak mungkin kemudian mengembuskannya perlahan.

Ayo, Va. Kamu pasti bisa!

Yaah, biarkan aku menyemangati diriku sendiri karena jalan berliku di depan sana masih panjang dan sama sekali belum terlihat ujungnya.

Aku menggigit bibirku, gugup. Memasuki kawasan perumahan elite yang terakhir kujamahi dua tahun lalu sudah cukup membuat jantungku berdebar. Alih-alih memperdalam pijakan kakiku pada pedal gas, aku malah kehilangan keberanian, ciut dan bahkan ingin memutar balik.

Kulirik jam pada dashboard mobil yang tepat menunjukkan pukul setengah empat sore saat mobilku sudah berhenti di depan rumah orang tua Sandi. Beberapa kali menelan ludah, tapi kaki ini teramat sulit untuk bergerak.

Aku tidak tahu apa yang aku lakukan sekarang. Rencana yang tergambar dalam angan kini buyar tersapu angin.

Pagar besi bernuansa klasik yang menjulang itu terlalu kokoh, tak yakin bisa melewatinya dengan mudah. Menelan ludah berkali-kali untuk bisa bebas dari kegugupan yang menjeratku, kini aku dengan perlahan melangkahkan kaki untuk menemui satpam yang berjaga di pos yang berukuran 2x1 meter itu.

"Selamat sore, Pak. Apa Bapak Sandinya ada di rumah?" tanyaku pelan sambil tak henti kupilin jari-jariku untuk menutupi kegugupan.

Satpam yang tak kukenal itu segera keluar. "Maaf dengan siapa?" tanyanya sopan.

"Aku Ziva. Ada sedikit keperluan, mau ketemu Pak Sandi. Bapaknya ada?"

Kulirik bordiran nama yang tercetak jelas di sebelah kiri seragamnya, Agus. Laki-laki paruh baya itu agak sedikit kaget saat beberapa baris kalimat dariku terlontar cepat.

"Kayaknya ada, tapi saya nggak tahu pasti. Saya baru kebagian jaga siang ini. Tapi kalau Ibu ada."

"Boleh aku ketemu, Pak?" tanyaku dengan antusias.

Pikirku, jika Sandi tidak ada di sini paling tidak aku bisa mendapatkan informasi keberadaannya dari Mami Renata. Berdoa saja ia masih bisa mengenaliku dan tidak akan menyiramku dengan seember air kotor.

"Sebentar," kata Pak Agus yang kemudian kembali masuk ke dalam pos satpan untuk membuat panggilan interkom.

"Silakan, Dek. Mobilnya parkir di dalam aja."

Rahangku terjatuh tanpa sadar. Harusnya aku senang bukan malah akan berbalik pulang.

Oke, aku bergegas membawa mobilku masuk dan setelah mobil terparkir sempurna, aku menimbang kembali keputusanku. Maju atau tidak, jujur aku takut. Keberanian menggebu yang sempat kubanggakan di depan Dhoni tadi seolah lenyap.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang