Bab 34. Masih Tersimpan

411 26 0
                                    

Dengan langkah ragu, aku menapaki anak tangga menuju lantai dua di rumah megah milik Mami Renata. Dada ini bergemuruh. Entahlah, seperti akan bertemu dengan sesuatu yang menakutkan, kaki telanjangku gemetar hebat.

Mengikuti Mami Renata yang berjalan di depanku, wanita paruh baya ini terus saja bercerita kalau semua tentangku masih tersimpan apik di dalam kamar anak kesayangannya, membuat perasaan bersalah yang bersarang semakin menggelembung besar.

"Harapan Sandi sama kamu itu terlampau besar. Hatinya memang sakit, tapi untuk ngelupain kamu juga nggak mudah. Kamu udah punya tempat istimewa di hatinya."

Aku hanya mengembuskan napas berat sembari tersenyum yang entah mengisyaratkan kesenangan atau kesedihan. Semakin banyak cerita menyakitkan itu mencuat kepermukaan, aku semakin tak yakin kalau rencana untuk meminta damai dengan Sandi akan berhasil.

Kesalahanku fatal, aku telah berselingkuh darinya dan dengan entengnya menganggap jika Sandi akan baik-baik saja, tapi ternyata aku salah. Sekarang aku sadar jika aku sudah membuat lubang besar dan dalam di hatinya.

"Ayo masuk!"

Darahku berdesir saat pintu kamar Sandi terbuka sempurna. Dingin terasa begitu menusuk ketika kaki ini menapaki lantai granit pada sebuah ruangan gelap yang nampaknya sudah lama tak ditempati.

Udara pengap bercampur aroma khas seorang Sandi seolah menyambut kedatanganku. Mataku refleks menyipit saat Mami Renata menyalakan saklar lampu yang ada di samping pintu.

"Sandi udah jarang banget tidur di kamar ini, tapi setiap senin sama kamis selalu ada yang bersihin."

Aku hanya menganggukkan kepala tanpa mau bersuara. Lebih memilih mengedarkan pandangan ke suluruh penjuru ruangan, mencari sesuatu yang mungkin saja telah terlewatkam. Namun, aku tak menemukan apa pun, nyatanya kamar ini tetap sama seperti dulu.

Koleksi action figure yang tersusun rapi di lemari khusus tepat di sudut ruang sebelah kanan, kumpulan buku bacaan sebagai referensi pengembangan bisnis nampaknya belum ada yang baru dan masih tersusun rapi di rak buku serta meja kerja yang selalu nampak bersih.

"Tunggu di sini ya, Va!"

Aku mengangguk dan membiarkan Mami Renata menjauh. Kaki dan pikiranku kali ini selaras, berhati-hati melangkah untuk masuk lebih dalam sembari kubuka satu persatu memori yang dulu pernah ada.

Di sini, aku sering sekali mengomeli Sandi yang kadang kebablas tidur hingga tengah hari. Bukannya segera bangun, ia malah tak terima dan menarikku untuk bergabung bersama.

Dulu, aku begitu takut jika gerd-nya kambuh. Pernah beberapa kali aku mengantar makan siangnya saat laki-laki itu tengah sibuk dengan kolega bisnisnya via daring. Setelahnya, aku dihadiahi sebuah kecupan singkat yang berhasil membuat pipiku merah merona.

Masih banyak lagi sebenarnya, tapi yang pasti ruangan ini punya kenangan tersendiri bagi aku dan Sandi. Mungkin karena itu juga ia jadi enggan menempatinya lagi, jejak-jekakku masih melekat hingga bayangan itu mengikat ingatan begitu kuat.

Sandi itu temasuk golongan laki-laki romantis, soft boy masa kini yang selalu memperlakukan perempuan like a queen. Ya, ia memang seperti itu, tanpa dibuat-buat apa lagi menuntut balas.

Aku pernah berkhayal jika suatu saat nanti kehidupan kami sebagai suami istri tentunya akan sempurna. Tidur di ranjang dan selimut yang sama, makan sepiring berdua, bahkan mandi pun harus bersama.

"Va, kok ngelamun?"

Aku terkesiap saat Mami Renata muncul dari walking closet, tempat menyimpan ratusan baju serta barang-barang dari merk ternama milik anak semata wayangnya.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang