Bab 4 : Sengit

1K 62 20
                                    

Sandi terus mengajakku bercerita tentang kehidupannya setelah kami berpisah, termasuk usahanya di bidang kuliner yang bisa dibilang sukses besar. Meningkatnya kebutuhan variasi makanan baru dan juga suasana resto yang anti mainstream dimanfaatkan oleh Sandi yang notabene memang lulusan ekonomi bisnis. Beruntung sekali pikirku, ia bisa terjun sesuai dengan jurusan yang ia pelajari, berbeda denganku yang sudah jauh menyimpang.

"Nanti aku ajak kamu ke resto yang ada di Jalan Merdeka, kepiting saus padangnya enak banget. Kamu harus coba."

Aku tersenyum sambil mengangguk kecil menanggapi tawarannya itu, "Yakin? Aku makannya banyak lho, Kak?"

"Nggak masalah. Kamu bisa makan sepuasnya. Kamu mau restonya juga aku bakal kasih, tapi ada syaratnya!"

Aku terbahak ketika mendengar omongannya yang berlebihan. Namun, sungguh Sandi akan benar-benar memberikan resto itu jika aku menyanggupi syarat yang ia ajukan. Semua terlihat mudah baginya, bukan tanpa alasan aku berani bilang seperti itu karena dulu aku pernah iseng saat ia menanyakan keinginanku ketika aku berulang tahun yang ke dua puluh lima, dua tahun lalu dan status kami masih berpacaran saat itu.

Aku bilang kalau aku ingin Honda Jazz keluaran terbaru sebagai hadiah. Tidak seserius itu, aku mengatakan dengan nada candaan. Aku berani bersumpah, saat itu aku hanya mengatakan apa saja yang terlintas di otakku.

Dan benar saja, seminggu kemudian sebuah mobil putih dengan plat profit sudah terparkir di depan rumah pagi-pagi buta. Aku terbelalak ketika tahu harganya yang lebih dari tiga ratus juta.

"Kakak tuh, ya! Nggak pernah berubah dari dulu."

"Iya, aku gini-gini aja dari dulu. Kamu yang berubah?"

Alisku bertaut. "Kok, aku?"

"Status kamu," katanya langsung, singkat padat dan jelas membuat Dhoni mengeram tertahan.

Di Palembang, keluarga Sandi sudah punya nama, keluarga pengusaha sukses turun-temurun di segala bidang dan mereka juga terkenal karena sifat yang dermawan. Sandi juga merupakan ahli waris utama kekayaan ayahnya yang takkan habis walau dipakai untuk menghidupi tujuh keturunan di keluarga besar mereka.

Kadang aku berpikir, kenapa dulu laki-laki berlatar belakang se-wow Sandi mau mengorbankan sesuatu yang krusial demi bisa menikah denganku, padahal ia bisa saja mendapatkan wanita yang lebih pantas atas cintanya dulu. Namun, sekarang aku benar-bersyukur itu tak pernah terjadi, bisa-bisa aku bakal menyesal seumur hidup.

Aku dan Sandi masih mengobrol santai membuatku terhanyut hingga tanpa sadar aku terlalu bersemangat menanggapi celotehannya karena kami memang nyambung kalau sudah membicarakan sesuatu. Seperti sudah berbagi sel otak, kami asyik sendiri, seru sendiri, tertawa lepas seperti kawan yang telah lama tak berjumpa, hingga tanpa sadar aku mengabaikan suamiku yang sedang berusaha mengunyah burgernya dengan malas.

Sandi terus membicarakan semua tentangnya, sampai-sampai laki-laki itu pamer harta yang ia dapat dari bisnisnya yang sukses itu, sambil mencuri pandang ke arah Dhoni. Berharap suamiku ke-trigger mungkin?

Mobil sport, apartemen mewah di PIK, saham serta bisnis properti yang sekarang juga mulai ia geluti, tanah berhektar-hektar dan semua ia sebut tanpa ada yang tertinggal. Kutanggapi hanya dengan wah sambil tersenyum simpul. Namun, jujur aku mulai risih, Dhoni yang dari tadi terlihat santai pun sudah mulai berdecih beberapa kali.

Aku mengalihkan pembicaraan, menanyakan kabar orang-orang di lingkungan kami yang sudah lama tak kutemui. Sandi pun merespon dan bercerita tentang sahabatnya yang juga kenal baik denganku.

"Va, kamu masih inget sama Riyan? Itu lho, anak basket yang sering gangguin kamu, waktu kamu suka nemenin aku main di lapangan dekat Novotel?"

"Ah, Kak Riyan yang rambutnya cepak itu? Iya, iya inget. Kenapa?"

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang