Bab 25 : Kembali Bersatu

839 58 9
                                    

Aku merasakan hal yang tak biasa saat mencoba membuka mata, belakang kepala yang teramat nyeri seperti tertimpa sesuatu yang berat serta tubuh kaku seolah terikat tambang yang kuat.

Mataku menangkap langit-langit putih kosong yang tampak begitu rendah, bau khas begitu menyengat juga gema ruangan yang terdengar berbeda.

Sayup dari luar langkah kaki orang yang berlalu lalang, terdengar ramai, tapi sangat asing bagiku hingga aku menyadari kalau ini bukan kamarku. Aku hapal betul seluk-beluk dan aromanya meski semalam aku tidak tidur di sana.

Aku berusaha sadar dan membaca keadaan sekitar, tapi yang terlihat hanyalah sebuah tirai putih yang panjang terbetang dari atas hingga bawah. Infus di tangaku membuat alisku seketika bertaut dan saat itu juga aku sadar bahwa sekarang aku sedang terbaring di rumah sakit.

"Va, kamu sudah sadar?" Pertama kali terlihat adalah Mama dengan wajah penuh dengan kekhawatiran. Jelas sekali sebab Mama langsung mendudukkan bokongnya dengan tergesa-gesa pada kursi di samping tempat tidurku.

Sadar? Jadi, tadi aku pingsan?

Aku tidak tahu persis dengan apa yang terjadi, tapi aku berusaha mengangguk untuk menjawab pertanyaan Mama.

"Aku kenapa?" tanyaku dengan nada suara lemah.

"Kamu demam, Va. Suhu badan kamu tinggi. Kamu tadi pagi pingsan di lobby hotel."

Aku tertegun sejenak, bayangan akan sosok Pak Hadi dan kantong kresek berwarna putih masih teringat jelas, tapi setelahnya aku tidak bisa mengingat apa pun.

"Kamu kecapean dan imun kamu lemah, makanya jadi begini. Tadi perawat sudah ambil sample darah kamu buat cek di laboratorium kali aja kamu ada penyakit lain."

Penjelasan Mama berhasil membuatku mendesah lelah. "Nggak perlu, aku nggak apa-apa, Ma" jelasku yang kini mulai gelisah. Namun, Mama tidak goyah dengan hanya mendengar bualan belaka.

"Kalau nggak ada apa-apa sama kamu, nggak mungkin kamu bisa ada di sini sekarang."

Aku terdiam, tertampar oleh kalimat yang Mama lontarkan. Ya, aku memang di sini dengan baju khas pasien rumah sakit yang melekat serta selang infus tertancap di punggung tangan. Sepertinya ini ruang vip sebab hanya ada satu hospital bed tempat dimana aku tengah terbujur lemah saat ini.

"Dhoni mana, Ma?" tanyaku lirih.

Rasa penasaranku yang terpendam tidak mampu kusimpan. Sejak tadi aku tidak melihat keberadaan Dhoni dan seingatku ia masih tertidur pulas di kamar hotel tadi pagi. Jangan bilang kalau ia tidak mengetahui keberadaanku di sini.

Pertanyaanku mengundang desah lelah Mama, seolah ada sesuatu yang salah pada pertanyaanku itu. "Ada di luar," jawab Mama singkat.

Mimik wajah Mama tampak lain yang mampu mendorong rasa penasaranku semakin bergolak.

"Bisa tolong dipanggil nggak, Ma. Aku mau—"

"Laki lo nggak ada. Udah gue usir!"

Kak Bayu tiba-tiba muncul dari balik pintu, melangkahkan kaki dengan tergesa lalu mendudukkan bokongnya pada sofa. Napas tersengal dan wajah kusut khas laki-laki itu saat sedang pening membuatku mendengus.

Rasa khawatir semakin menguar saat kakakku berkata demikian. Ada letupan rasa amarah dan kecewa saat kudapati bahwa Kak Bayu sudah berbuat semaunya pada Dhoni padahal jelas kalau suamiku adalah orang yang bertanggung jawab penuh atas diriku. Bukan dirinya atau Papa.

Aku berdecak dan tidak bisa menahan kedongkolanku. Sungguh, aku kecewa pada kakak kandungku yang terlalu ikut campur dalam masalah ini.

"Kenapa diusir?" tanyaku dengan suara yang bergetar karena tidak bisa menutupi rasa sedih yang teramat besar.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang