Bab 5 : Silent Mode

959 66 9
                                    

Aku meninggalkan Dhoni yang sibuk memarkirkan motor kesayangan Mama di garasi. Mobil Kak Bayu dan Papa masih terparkir di dalam sana, jadi ruang untuk motor Mama tersisa sedikit. Garasi rumah kami kecil, jadi perlu skill dewa supaya motor itu bisa masuk dengan sempurna. Jangan diragukan, Dhoni bisa melakukannya.

"Kemana aja kalian jam segini baru pulang? Lupa, ya kalau pesawat Bunda take off jam setengah tiga?"

Ya Tuhan!

Aku menepuk jidatku kuat-kuat hingga terdengar bunyi nyaring saat mertuaku menyambut kepulangan kami dengan pertanyaan yang membuat kakiku lemas seperti jelly. Saat itu juga aku ingin menjambak rambutku sendiri, bisa-bisa aku teledor seperti ini.

Tanpa kusadari, ternyata matahari sudah tinggi. Kulirik jam dinding di ruang tengah sedang berhenti di angka dua belas lewat lima menit. Niatku untuk pulang jam sepuluh harus tercoret dari daftar kegiatanku hari ini karena kemunculan Sandi yang tiba-tiba, menggagalkan semua rencana yang sudah kususun dengan rapi. Memang salahku, mengobrol dengan Sandi sampai lupa waktu, hingga aku juga lupa kalau keluarga suamiku akan pulang ke Jakarta siang ini.

Aku merutuki diriku sendiri. Hari ini, dari subuh hingga siang rasanya masalah datang tiada henti. Aku lelah, tapi sepertinya Tuhan belum menyuruhku untuk berhenti sebab omelan mertuaku seakan membuat tenagaku terisi kembali.

Aku membaringkan tubuhku di lantai, di sebelah Bunda yang sedang sibuk packing oleh-oleh yang begitu banyak. Aku sampai bertanya dalam hati, bagaimana dan siapa yang akan membawa semua barang sebanyak ini nanti. Nino? Jangan berekspektasi terlalu tinggi dengan iparku yang satu itu.

"Tadi makan dulu, Bun."

Helaan napas kasar keluar dari mulut mertuaku saat aku dengan santai berkata seperti itu.

"Makan, kok lama banget, Nak? Bunda dari jam sembilan udah di sini, lho! Bunda tadi sebenarnya mau minta ditemenin buat belanja di pasar dua enam, mau beli kerupuk."

Aku tidak tahu harus bagaimana merespon sebab tidak mungkin aku menceritakan perihal anak kesayangannya tadi terlibat cek-cok dengan mantan tunanganku. Aku hanya bisa menggaruk tengkuk, bukan karena gatal, tapi karena aku benar-benar bingung.

"Maaf, ya, Bun. Tapi, kenapa Bunda nggak nelpon tadi?"

"Bunda nelpon Eja, tapi nggak diangkat. Nelpon kamu juga gitu. Gimana ceritanya coba?" kata Bunda dengan sedikit ketus dan jengkel.

Aku memejamkan mata sambil menarik napas. Aku ingat, saat pergi, ponselku sudah low batt dan Dhoni memang sengaja tak ingin membawa ponselnya.

"Maaf, Bun. Hapeku mati," jawabku menyesal.

"Kalian kemana aja, Ziva. Pergi kok sampai lupa waktu?" sergah Mama yang baru saja keluar dari dapur. Aku hanya diam lalu merubah posisi berbaringku menjadi menyamping, menghindari kontak mata dengan Mama atau bisa dikatakan aku menghindari omelannya.

Mama menepuk bokongku, aku pun duduk dan menyandarkan punggung pada dinding. Sekarang tubuhku benar-benar lemas, aku haus, tapi terlalu malas untuk bergerak bahkan hanya sekadar untuk mengambil air minum.

"Kenapa nggak bilang? Kan bisa minta tolong Bayu." Mama bertanya pada besannya yang sekarang sudah duduk santai, beres-beresnya sudah selesai dan sekarang Bunda hanya selonjoran di sampingku.

"Nggak enak. Bayu dari tadi repot kayaknya. Ya, nggak apa-apalah, nanti dibawain aja pas kamu sama Eja pulang, ya?" kata Bunda sambil melirik ke arahku. Akupun mengangguk patuh.

"Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumsalam."

Dhoni muncul dari luar dengan wajah yang garang. Salamnya terdengar setengah hati, pun tanpa senyum manis seperti biasa. Ia berjalan cepat menuju kamar tanpa mau menghiraukan kami yang tengah duduk di ruang tengah. Dhoni menutup pintu lumayan keras hingga aku sedikit tersentak. Bunda melotot padaku, tapi aku hanya mengangkat bahu, pura-pura tak tahu apa-apa, padahal aku yang membuat anaknya marah.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang