Bab 32 : Apatis

399 29 0
                                    

Tadi pagi aku mendapat kabar kalau status Dhoni sudah naik jadi tersangka. Entah harus bereaksi seperti apa yang jelas perasaanku campur aduk. Bingung, marah, kesal serta frustrasi menumpuk jadi satu membentuk gumpalan dalam dada.

Tanpa pikir panjang, aku segera menghubungi Sandi lewat telpon beberapa kali, tapi hasilnya nihil. Laki-laki itu sepertinya memang sudah menghilang ditelan bumi.

"Sandi nggak mau damai, Va. Dia udah nunjuk kuasa hukum buat kelanjutan kasus ini."

Kakakku sempat berharap bertemu dengan sahabatnya itu tadi malam ketika ia diminta datang untuk menjadi saksi dan yang datang malah seorang yang tak dikenal sebagai perwakilan dari pihak Sandi.

"Dari informasi yang gue dapet, hasil visum menunjukkan adanya retak di bagian kening sebelah kanan. Bukan hanya luka robekan," jelas Kak Bayu yang saat ini sedang duduk di sebalahku.

"Kakak yakin hasil visumnya valid?" tanyaku dan Kak Bayu hanya mengangkat bahu.

"Yang gue tahu, dokter atau petugas forensik nggak bisa sembarangan ngeluarin hasil visum."

"Ya, tapi nggak menutup kemungkinan kalau hasilnya di manipulasi biar hukuman Dhoni jadi makin berat."

Bukan bermaksud apa-apa sebab di situasi sekarang uang bisa saja membelokkan hati seseorang.

"Gue nggak tahu, Va. Tapi yang jelas pas gue liat di CCTV suami lo kayak kerasukan sewaktu mukul Sandi pakai kursi. Sampai-sampai gue nggak sadar kalau waktu itu gue teriaknya kenceng banget, saking paniknya. Dhoni kayak ada dendam gitu padahal kan mereka nggak saling kenal. Jadi, menurut gue masuk akal kalau luka Sandi bisa separah itu."

Aku beringsut untuk menyandarkan punggungku yang sudah melemas. Pandangan mataku hanya tertuju pada dinding yang bercat putih lantas alisku bertaut saat mendapati ada sebuah frame berukuran besar membingkai foto pernikahan kami.

Sejak kapan benda itu bertengger di sana? Lihat kan air mata ini kembali tumpah karena melihat senyum lebar Dhoni di sana.

"Gimana kabar Nak Dhoni, Bay?"

Aku dan Kakak menoleh pada Mama yang baru saja selesai dengan urusan dapur. Membawa baki dengan dua cangkir teh yang asapnya masih menari di udara. Kue putu kesukaanku juga ada di sana. Namun, sayang aku tak berselera untuk melahapnya.

"Berat, Ma," jawab kakakku sambil meraih secangkir teh di atas meja. "Dhoni memang terbukti bersalah."

Mama bergabung di sebelahku tanpa mengeluarkan sepatah kata. Dipandanginya Kak Bayu lekat dan pandangannya teralih padaku kemudian.

"Memangnya apa masalah kalian, Va? Kok kayaknya pelik banget. Apa yang dilakukan Sandi hingga Dhoni berani ngelakuin tindakan yang berbahaya kayak gitu?"

Mulutku tetap terkunci rapat membentuk garis lurus. Kedua pasang mata yang tengah menyorotku itu lantas tak berkedip sedikit pun, menanti jawaban dariku. Aku menelan ludah susah payah, mati-matian menahan diri untuk tidak bicara tentang sex tape itu.

"Jangan bilang kalau lo nggak tahu apa-apa!" sergah Kak Bayu.

"Karena nggak mungkin mereka ribut kalau nggak ada sebab."

Aku tidak berani menatap Mama atau pun kakakku yang kini semakin dilingkupi rasa penasaran. Aku tidak ingin aib Dhoni diketahui oleh keluargaku, terlebih Mama dan Papa, lantas aku bergegas bangkit dari sofa dengan dada yang berdegup cepat.

"Apa masalah ini ada hubungannya dengan video itu?"

Ujung runcing tombak sudah berada tepat di depan mata seolah nyawa dalam raga akan tercabut paksa. Langkahku sontak terhenti dan gemuruh di dada semakin berpacu serta dingin langsung menjalar ke seluruh tubuh.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang