Epilog

2K 46 24
                                    

"Rumah ini beneran mau dijual, Bos?"

Tak terdengar satu kalimat yang keluar sebagai jawaban. Laki-laki tiga puluh dua tahun itu kini menyimpan anak kunci ke dalam saku. Dengan keyakinan penuh, Sandi memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya.

"Banner yang lo bikin kurang gede, Bel."

Ia mengusap dagunya sesekali. Menatap tak yakin pada sebuah banner bertuliskan "For Sale" yang terpasang di besi pagar.

Sandi mendesah panjang sambil menatap lekat rumah dua lantai yang dibelinya beberapa tahun lalu. Impiannya menempati rumah ini bersama perempuan yang ia cintai pupus sudah.

Perempuan bernama Ziva beberapa tahun ini benar-benar menyedot semua energinya. Sepertinya, ia tak mengerti jika yang Sandi inginkan hanyalah hati utuh darinya tanpa perlu ia bagi pada siapa pun.

Sayangnya, Sandi harus merelakan kekasih hatinya pergi dengan pilihannya dan menyadari jika memang mereka tak ditakdirkan untuk bersama sepanjang usia. Namun, sialnya, nama dan rasa untuk perempuan itu masih menetap dan Sandi belum mau mengusirnya. Entah atas dasar apa.

Akan tetapi, kejadian satu bulan lalu membuat cara pandangnya terhadap cinta sudah berbeda. Ia tak ingin lagi dianggap hanya sekadar tempat singgah yang akhirnya dibuat patah.

Cukup. Dia tidak ingin menjadi budak cinta lagi.

"Gue yang bawa mobil."

Memutuskan untuk membawa Civic Turbo-nya dalam perjalanan menuju Jakarta, Sandi juga berniat untuk bermalam di salah satu hotel di daerah Lampung. Healing tipis-tipis, sekadar melepas pikiran ruwet di kepala.

"Hotel udah lo booking? Dua kamar dan gue mau yang ada di deket pantai!"

"Beres, Bos."

"Gue ngebut. Biar sampai di Lampung nggak kemaleman. Kencengin sit belt lo."

Laki-laki kemayu yang sudah lama menjadi asisten pribadi Sandi segera mengencangkan sabuk. Matanya melirik jam yang ada di dashbord, menunjukkan pukul sepuluh pagi. Mereka akan melewati jalan tol. Butuh sekitar enam jam untuk segera sampai di Lampung.

"Kalau Bos ngantuk, bilang aja. Biar aku yang gantiin."

Tidak ada jawaban dari Sandi sebab laki-laki tampan itu kini tengah terpaku menatap layar ponsel yang menyala.

Getarnya terdengar nyaring. Namun, Sandi sedikit pun tak berniat menjawabnya. Hanya menatap dalam diam. Dia bingung juga ragu.

"Apa?"

Setelah pertarungan sengit dalam dirinya. Akhirnya ia memutuskan untuk menjawab panggilan itu.

"Gimana, Bro? Apa rencana lo udah berhasil?" tanya seseorang yang begitu bersemangat, yang ada di seberang telpon.

Sandi diam. Ludahnya ia telan dengan susah payah. Embus napas kesal ia keluarkan dengan kasar. Setelahnya, ia menghempaskan punggungnya di jok kemudi lalu helaan napas terdengar lagi.

"Gue masih punya banyak stock video dan foto-foto mesum si pengecut itu. Gue kirim asal harganya cocok. Gue juga punya foto-foto Ziva lagi ganti baju."

Sandi terhenyak. Ia seketika menegakkan kembali punggungnya. Giginya menggeretak ketika mendengar nama Ziva. Tangannya menggenggam erat stir yang ada di depan dada.

"Lumayan banyak, tapi ya harganya —"

"Berapa?" potong Sandi. Suaranya terdengar meninggi.

"Lo minta berapa untuk semua video dan foto yang masih lo simpan?"

Dada Sandi berdetak cepat. Ia tidak sabar menanti jawaban dari lawannya bicara.

"Atau gini, deh, Vic. Gue beli semua, bila perlu sama hard disk punya Dhoni yang lo curi itu sekalian."

Terdengar tawa renyah dari seseorang yang bernama Vicky dari seberang telpon, membuat Sandi semakin geram dan tangannya terkepal kuat.

"Serius, Bro?"

"Kapan gue pernah main-main sama lo. Tapi, ingat. Abis ini lo jangan ganggu kehidupan gue lagi, termasuk Ziva dan suaminya. Gue mau perkara sex tape itu selesai sampai di sini. Gue juga nggak mau lo bikin duplikat semua file yang ada di sana. Dan kalau seandainya suatu saat gue denger atau ngeliat lo nyebarin video sex itu dengan sengaja, gue bakal cari lo kemana pun, sampai ke neraka bakal gue jabanin. Paham lo?"

Sandi mengakhiri panggilan itu dengan bentakan kasar, setelahnya ia membuang ponsel pintarnya sembarang.

Ia menengadah. Menetralkan napasnya yang memburu akibat ulah Vicky yang tiada henti menghubunginya sejak beberapa hari kemarin. Sandi sungguh menyesal karena kemarin sempat mengajak laki-laki itu bekerja sama untuk menghancurkan kebahagiaan Ziva dan Dhoni.

Sudah, sampai di sini saja kegaduhan yang berhasil memporak-porandakan hidupnya. Ia tidak  ingin lagi. Ia jera, ia kapok. 

Ia sekarang ingin hidup normal. Ia ingin move on. Berusaha melepaskan masa lalu yang membelenggu hatinya. Meski demikian, jauh di lubuk hatinya yang terdalam, ia tak pernah sedikit pun menyesal telah memberi effort lebih untuk seseorang. Hanya saja, kadang Sandi kepikiran akan suatu hal.

"Gila, ya. Gue udah setulus itu sama orang, tapi kenapa perjuangan gue tetap nggak dihargai?"

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang