Bab 35 : Masih Banyak Rintangan

395 28 1
                                    

Memasuki pekarangan rumah pada pukul lima, warna jingga tak nampak di hamparan langit luas sore ini. Mendung enggan bergeser dari tempatnya ditambah gemuruh yang menggelegar bersaut-sautan.

Pikirku, sepertinya malam ini hujan akan turun deras. Lantas bagaimana caraku bisa melewati dinginnya malam jika penghangat ranjangku saja tengah meringkuk di dalam dinginnya sel tahanan?

Suasana rumah menjadi berbeda selepas peristiwa penangkapan Dhoni kemarin. Seperti ada yang terenggut dari dalam jiwa, membuatnya menjadi kosong dan redup, tak bercahaya.

Sebenarnya, aku sudah memutuskan untuk menemui Sandi sore ini, berbekal info dari Mami Renata yang bilang kalau Sandi masih ada di rumah miliknya. Namun, niat itu kuurungkan karena Kak Bayu memintaku untuk segera pulang.

Rasa sesak lagi-lagi menghampiri saat kaki dengan gamang menapaki lantai rumah ini. Degup jantung kembali cepat saat telinga menangkap suara lantang Kak Bayu menggema memenuhi ruang tengah.

"Pokoknya Ziva harus klarifikasi. Aku yakin dia lebih dulu tahu tentang semua ini."

"Mungkin itu cuma rekayasa, Bay?"

"Mana ada! Jelas banget itu mukanya."

Entah apa yang terjadi, aku tidak ingin berspekulasi.

"Assalamualaikum!"

Jawaban salam sontak terdengar serentak. Kakiku mendadak berat, kepala rasanya seperti tertimpa beton ribuan kilo saat semua mata kontan menyorot kehadiranku.

Hening, tak ada tawa yang menggema selayaknya keluarga tengah berkumpul bersama. Wajah yang tertekuk masam, belum lagi ibu mertuaku yang sesekali terlihat menghapus air mata sambil tersunggut di atas sofa dengan tisu yang terkepal di tangan.

Ada apa ini?

"Dari mana lo?" Suara berat dari Kak Bayu menyentakku.

"Bunda sama Ayah kapan datang?" Alih-alih menjawab pertanyaan kakak, aku malah menghampiri mertuaku yang sedang duduk berdampingan di sofa. Tak lupa kucium punggung tangan keduanya bergantian.

"Tadi, sekitar jam dua." Singkat dan terdengar lirih. Bunda tetap berusaha tersenyum meski nyatanya terlihat getir.

Aku bisa merasakan sorot mata Bunda yang mengendap banyak kekalutan. Sedihnya mungkin bisa melebihi sedih yang aku rasakan. Pilu, ibu mana yang tak sakit hatinya saat tahu anak kesayangannya tiba-tiba digiring polisi atas tuduhan penganiayaan.

"Ada yang mau kita omongin, Va. Kamu mau bersih-bersih dulu atau—"

"Sekarang ajalah, Ma. Jangan buang-buang waktu!"  ujar kakakku lagi sembari menatapku tak suka.

"Duduk sini lo!" Kak Bayu menepuk tempat kosong di sampingnya. Aku tak lantas patuh, malah aku mendudukkan diri di samping Bunda yang nampak lesu.

Kak Bayu menghela napas kasar. Terdengar decakan samar sembari ia membuka satu kancing paling atas pada seragam kerjanya. Setelahnya,  Kak Bayu membetulkan posisi duduk dan segera mengeluarkan benda persegi panjang yang ada di dalam saku celana.

Alisku seketika berkerut. Papa, Mama dan kedua orang tua Dhoni tetap bergeming di tempat sambil menyorot gerak-gerak laki-laki yang masih memakai pakai dinas harian PNS-nya itu dengan seksama.

Beberapa detik ia habiskan untuk menggulir layar gawai dan matanya tiba-tiba menyipit saat telunjuknya berhenti. Dia diam sejenak untuk menarik napas lalu rahang laki-laki itu tiba-tiba menajam.

"Gue yakin lo sudah liat video ini?"

Tubuhku seketika menegang ketika layar ponsel itu tengah menampilkan adegan-adegan yang hanya pantas dilakukan oleh sepasang suami istri, tapi sayangnya kami semua tahu kalau sang pelaku tidak punya ikatan seperti itu.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang