Bab 36 : Bertolak Belakang

411 27 0
                                    

"Aku nggak mau cerai, Yah! Nggak akan pernah mau!"

Tangisku pecah saat itu juga. Getaran emosi mengguncang tubuhku saat aku mendengar sebaris kalimat terakhir itu. Seolah-olah, itu adalah pukulan telak yang membuat ulu hatiku nyeri.

Bagaimana tidak, kalimat itu terucap langsung dari mulut ayah kandung suamiku yang seakan memutus restu atas pernikahan kami.

Tidak bisa dipungkiri, kalimat-kalimat yang terucap dari mulut Kak Bayu terasa seperti pisau yang menusuk jantung. Kejam, ia telah berhasil menghidupkan bara kemarahan dalam diri ayah yang selama ini telah mencurahkan segalanya untuk membesarkan Dhoni dengan susah payah, dengan tetes keringat dan darahnya sendiri.

"Masalah ini sudah selesai dan aku baik-baik aja sekarang. Beneran!" jelasku sekali lagi.

Meski tidak sepenuhnya benar, aku berharap bahwa kata-kataku bisa meyakinkan orang-orang di ruangan ini. Bohong sekali jika aku secepat itu sembuh dari luka yang tertoreh begitu dalam.

Tubuhku bisa saja prima, tapi hatiku benar-benar rapuh. Sosokku tidak sebegitu tegar yang terlihat hingga aku bisa menerima perbuatan Dhoni dan Hanna lalu menganggap sebagai hal yang wajar.

Biar saja seperti itu, jika memang rasa sakit ini terbayar dengan kehadirian Dhoni di sisiku, aku rela jika harus menelan kepahitan ini sendiri. Aku harus bisa berdamai dengan kesalahan Dhoni di masa lalu. Toh, aku yakin dia juga sedang berusaha berdamai dengan masa laluku.

Ayah terdiam, bibirnya menegang. Wajahnya yang pernah dipenuhi semangat kehidupan kini tampak muram dan terkekang.

"Mungkin kamu bisa menerimanya, tapi keluargamu nggak, Nak. Lihat sekarang, semuanya berantakan dan penyebabnya adalah Eja."

Aku menggeleng cepat dan segera menghapus air mata yang membuatku terlihat sangat menyedihkan.

"Nggak usah dengerin apa kata Kak Bayu, Ayah! Dia udah nggak waras!"

"Bacot! Lo yang gila!"

"Bay, lebih baik kamu pulang sekarang!" Papa menyela pembicaraan di antara kami. Nampaknya Papa sudah tidak tahan dengan tingkah kakakku yang semakin tak terkontrol.

"Biar kami, sebagai orang tua yang mencari jalan keluar."

Papa berusaha menyeret kakakku menjauh dari ruangan ini, tetapi apalah arti dari tenaga Papa dibandingkan dengan fisik tegap yang dimiliki oleh kakakku?

"Papa benar, Bay. Kehadiran kamu malah akan semakin memperkeruh keadaan. Pulang ke rumah dan tenangin diri kamu. Istighfar!" Mama yang tengah mengusap dada Kakak kini sudah terlihat lelah. Wajahnya meringis menahan pedih atas apa yang baru saja terjadi.

"Mama nggak pernah ngajarin kalian ribut apalagi buat bertengkar hebat kayak gini. Pilu hati Mama, Nak. Mama ngerasa gagal mendidik kalian. Percuma rasanya nyekolahin tinggi-tinggi, tapi attitude kalian nggak mencerminkan seorang sarjana. Mana rasa hormat kalian sama orang tua dan malah dengan gampangnya kalian ngucap kata-kata nggak pantes di depan mereka. Mama jadi malu sama orang tua Dhoni."

Aku menelan ludah dua kali untuk sekadar menetralkan perasaan. Kata-kata Mama berhasil menampar kedua sisi wajahku dan membuatnya memerah. Tersadar, kemarahan itu seketika lenyap, aku lantas tertunduk malu.

"Kalian cuma dua bersaudara harusnya saling support, saling bantu, terlebih kamu sebagai seorang kakak. Bukan malah mau saling bunuh."

Mati-matian mengangkat kepala saat isak kecil terdengar diujung kalimat Mama. Aku juga menyaksikan bahu Kak Bayu yang melemas, wajahnya pucat pasi, keringat sebesar biji jagung muncul di keningnya dan gerak-geriknya berubah lambat.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang