Bab 17 : Second Offer

522 34 4
                                    

Setelah melewati negosiasi yang alot dengan Mama, aku berhasil mengantongi izin dengan catatan jam sebelas malam harus sudah tiba di rumah. Dibantu Sandi yang kukode agar mengeluarkan jurus bujuk rayunya seperti saat kami akan pergi kencan semasa pacaran dulu.

Selain itu, Sandi juga menelpon Kak Bayu yang masih menemani Papa di rumah sakit untuk berobat karena sesak napas, memberi tahu dan juga meyakinkan kalau aku akan tetap aman saat pergi bersama dirinya.

Benar, Sandi seolah membuktikan omongannya beberapa hari lalu bahwa tidak ada yang berubah dari dirinya, senyumnya, nada bicaranya, serta perlakuannya padaku masih sama seperti dulu dan yang berubah di antara kami itu hanya aku.

Sebenarnya, tadi masih dapat kulihat rasa cemas Mama saat mengantarku di depan pagar, selain hari yang  semakin larut, demamku yang belum membaik dan juga mencemaskan aku yang hanya pergi berdua dengan Sandi.

Mobil Sandi kini sudah membelah jalanan kota. Sedikit gerimis di luar karena memang saat ini Sumatera Selatan tengah memasuki musim hujan dengan curah yang tinggi seolah mendukung suasana rumah tanggaku saat ini, melow dan penuh air mata.

"Va, kamu yakin? Kalau Dhoni tahu kamu pergi sama Sandi, gimana? Apa nggak semakin memperkeruh masalah. 'Kan kamu sendiri yang cerita kalau kemarin Sandi sama Dhoni hampir berantem. Mama rasa amarah Dhoni masih belum sepenuhnya reda."

Kalimat Mama tadi masih terngiang di kepala membuat diriku semakin dilingkupi oleh perasaan takut dan rasa bersalah, yang tadinya abu-abu kini makin jelas terasa.

Aku menumpukan kepalaku di kaca jendela sambil memaksa untuk memejamkan mata. Banyak pertanyaan yang berlari memenuhi kepala membuatku tidak bisa fokus pada apapun.

Benarkah dengan tindakan yang kuambil saat ini?Bagaimana respon Dhoni ketika melihatku tengah berduaan dengan Sandi? Apa dia bakal menerima semua alasanku di saat emosinya sedang mendidih? Ya, Tuhan. Bagaimana ini?

Tapi... Tapi aku hanya ingin mencarinya. Bertemu, mengajaknya pulang dan minta maaf.

Jika selama ini, orang hanya melihat tampak luar seorang Dhoni yang baik, kalem, pendiam, sopan, punya tatapan teduh serta senyum manis nan memikat, tapi orang-orang tidak tahu bagaimana sisi gelap laki-laki itu, apa lagi saat marah. Dhoni akan berubah seperti monster yang mengerikan.

Bicara kasar dan kotor adalah wajib. Sudah tidak aneh jika ia selalu memukul benda apa pun sebagai pelampiasan kemarahannya dan juga membanting barang ke dinding hingga hancur berkeping-keping agar hatinya puas sembari menampakkan tulang rahangnya yang menajam. Ponselku saja terhitung sudah enam kali ia banting. Namun, sepertinya kali ini bukan ponsel lagi yang akan ia banting, tapi itu adalah aku.

Merinding. Tanpa sadar aku memeluk tubuhku sendiri. Apakah nasibku akan sama seperti penyanyi dangdut yang menikah karena hasil perjodohan netizen itu?

"Kita mau cari kemana dulu, Va?" Suara lembut Sandi membuyarkan lamunan. Hening jadi riak halus walau canggung masih mendominasi suasana.

Aku menegakkan punggung, tetap berusaha terlihat santai walau sekarang bergerak pun rasanya sulit sebab ini pertama kalinya kami bertemu empat mata setelah beberapa tahun lalu memutuskan untuk berpisah.

Aku menghembuskan napas panjang saat kesadaranku kembali guna mengusir gugup yang sejak tadi masih menguasai diriku dan mencoba memberinya senyum tipis, barangkali kecanggungan kami akan segera mencair.

"Uhm, kemana ya, Kak. Aku juga bingung. Hehe." Aku menggigit bibir bawahku sambil menatap Sandi yang langsung mengernyitkan kening.

Lampu merah memaksa mobil kami berhenti sejenak membuat kecanggungan itu kembali datang. Tidak ada suara hingga tarikan napas dalamku mengundang perhatian Sandi yang sedang mengatur volume suara radio.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang