Bab 7 : Batas Sabar

829 58 2
                                    

Setelah perdebatan kecil tadi siang, aku dan Dhoni jadi tak saling bicara. Air mataku yang tumpah tak cukup untuk meluluhkan hati suamiku yang terlampau keras atau memang gengsinya yang setinggi langit, hingga ia berat untuk sekadar mengucap kata maaf. Jadi, kubiarkan ia sibuk dengan dunianya, aku ingin lihat sejauh mana ia tahan untuk tak berbicara denganku.

Aku sedang rebahan di ranjang saat Dhoni masuk ke kamar. Ia baru saja pulang dari masjid karena tadi Papa mengajaknya untuk salat isya berjamaah dan sekalian berkenalan dengan Bapak-Bapak di lingkungan sekitar sini yang juga merupakan jamaah masjid di komplek perumahan kami.

Mataku sudah sayu, kantuk sudah menyerang. Otak sudah mengirim sinyal supaya aku beristirahat, melepaskan penat yang mengikat tubuhku seharian ini. Bukan hanya itu, hatiku juga perlu istirahat untuk kembali kuat menghadapi kepahitan hidup berumah tangga.

Lantas aku tak bisa begitu saja terlelap karena sekarang mataku tetap tak bisa lepas dari tubuh jangkung Dhoni, yang sejak tadi sibuk mondar mandir sampai tubuh itu hilang di balik pintu kamar mandi sambil membawa baju kaus dan celana pendek untuk dipakai tidur malam ini.

Ponselku pintarku bergetar sesaat setelah pintu kamar mandi tertutup rapat. Sungguh, minatku pada benda persegi panjang itu tak lagi ada jika saja notifikasi yang masuk tidak lebih dari satu kali. Hal ini sukses membangkitkan rasa penasaranku hingga aku mencari benda itu dengan tak sabar.

Beribu sesal hinggap. Kembali merutuki nasib. Borok Dhoni yang mana lagi yang akan Tuhan tunjukkan padaku sekarang?

Bisakah aku tawar, cukup hanya sampai kemarin saat video itu kutonton sampai habis.

Kantukku lenyap. Tubuhku yang tadinya lesu kini sudah tegang. Jantungku berdebar kencang, tarikan napasku menjadi pendek saat tahu kalau nomor asing itu kembali mengirim pesan. Kali ini ia mengirim beberapa file foto dengan resolusi yang besar.

Aku berniat menghapus pesan itu. Namun, rasa penasaran yang kuat mengalahkan ketakutan dalam diriku. Dengan jempol yang bergetar aku memilih membuka pesan itu dan melihat foto apa yang ada di sana.

Mataku terbelalak. Dingin langsung menjalar ke seluruh tubuh dan nyawaku seperti ditarik paksa dari raga. Sakit yang teramat menghantam kuat. Usahaku untuk menata hati kembali seperti sedia kala seolah sia-sia.

Ingin menangis, tapi air mataku sudah kering dan yang bisa kulakukan kali ini hanya memandang foto-foto after sex Dhoni dengan seorang perempuan yang terpampang jelas di depanku.

Tanganku refleks menutup mulut saat melihat foto mereka yang bergelung dan berpelukan di dalam selimut yang sama.

Mereka juga berciuman. Rambut yang berantakan serta wajah yang lelah menunjukkan bahwa mereka sudah selesai bercinta. Aku juga bisa melihat banyak bercak merah keunguan di leher dan dada sang perempuan.

Gila, sebegitu mendambanya Dhoni padanya?

Tak hanya itu, bahkan mereka berdua sama-sama mabuk dan merokok.

Foto itu diambil di lokasi yang sama persis seperti lokasi dalam video yang dikirim padaku kemarin. Di sebuah kamar hotel bintang lima.

Status online milik nomor tak dikenal itu tersorot olehku saat aku akan menutup room chat. Tanpa pikir panjang, aku menekan tanda telpon di sudut kanan untuk membuat panggilan dengannya.

Harap-harap cemas. Degup jantung berpacu kencang. Telponku sempat tersambung dan tiba-tiba terputus ketika nada sambung terdengar untuk yang ketiga kalinya. Namun sayang, saat aku ingin mengulangi panggilan itu, nomorku sudah diblokir olehnya.

Sial! Siapa sih sebenarnya dia?

Aku terperanjat sewaktu pintu kamar mandi terbuka. Dhoni mengayunkan kakinya keluar dari sana. Dengan tergesa-gesa aku menyembunyikan ponselku di bawah bantal. Tak kuhiraukan Dhoni yang sudah terbujur di sampingku, pilihan terbaik saat ini adalah berbaring memunggunginya.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang