Bab 12 : Terulang Lagi

960 62 18
                                    

"Woi. Ngapain lo?!"

Suara lantang seorang laki-laki membuat tukang ojek gila itu tersentak saat ia hampir memukulku dengan tangannya. Tangisku pun mendadak berhenti, tapi aku masih tak punya nyali untuk mengangkat kepalaku. Aku tetap tertunduk menatap ujung jari kakiku.

"Gue laporin ke polisi lo, bangsat!"

Bajingan itu lalu bergegas pergi, melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Saat itu juga terdengar derap langkah tergesa menghampiri aku yang masih berjongkok lemas tak berdaya sambil memeluk lututku yang gemetar.

"Kamu nggak apa-apa?"

Suara lembut masuk ketelinga bersamaan dengan sebuah lengan merangkul bahuku, wangi manis langsung tercium dan kuyakini yang mendekapku sekarang adalah seorang perempuan. Aku bisa sedikit bernapas lega dan memberanikan diri untuk mengangkat kepala.

"Ya Allah, Ziva!"

Saat mata kami bertemu tangisku pecah. Aku tak mampu lagi membendung gemuruh yang bersarang di dada. Kupeluk erat tubuh perempuan itu dan ia pun membalas pelukanku sambil mengusap lembut punggungku.

Mbak Jihan, tetangga yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumah kami. Suaminya kenal baik dengan keluargaku terlebih dengan Kak Bayu. Teman nongkrong, juga teman main basket saat Kak Bayu masih bujangan.

Mbak Jihan membopong tubuhku untuk segera masuk ke dalam mobil diikuti oleh suaminya yang sigap membukakan pintu mobil untuk kami.

"Kita lapor polisi!"

Aku langsung tersentak kemudian segera protes pada Mas Daniel yang kini sudah duduk di belakang kemudi.

"Jangan, Mas. Aku mau pulang aja!"

Suami istri itu menoleh padaku dengan tatapan tak percaya, terlebih Mbak Jihan yang matanya melotot seperti akan keluar dari sarangnya.

"Kok, pulang? Kamu barusan dilecehin. Nggak bisa dibiarin gitu aja!" ujar laki-laki bermata sipit yang telinganya ditindik itu.

"Nggak, Mas. Aku mau pulang aja, sekarang. Aku takut!"

"Kenapa harus takut, Va? Mbak sama Mas Daniel lihat kok kamu apa-apain sama dia." Mbak Jihan mendengus sambil mengepalkan tangan diikuti giginya yang menggeretak.

"Kami bisa jadi saksi. Kamu nggak usah takut kalau nanti dituduh bohong atau membuat laporan palsu. Mobilku juga ada dashcam-nya. Itu bisa dipakai buat bukti."

Mas Daniel kekeuh pada pendiriannya tapi, bukan itu yang aku inginkan. Aku hanya ingin pulang, mengurung diri di kamar dan menumpahkan tangisku dengan bebas. Membekap mulutku dengan bantal kemudian berteriak sekencang-kencangnya.

Aku juga ingin segera mengguyur tubuhku dengan air, membersihkan bekas tangan kotor laknat yang saat ini panasnya masih bisa kurasakan dengan jelas di bokongku. Sungguh menjijikkan.

Aku kacau, perasaanku sudah tak karuan saat ini. Marah, sedih, malu, sakit, aku benar-benar tersiksa. Pikiranku langsung tertuju pada suamiku. Bagaimana jika nanti Dhoni tahu kalau aku baru saja dilecehkan oleh orang tak dikenal. Aku yakin, dia tak akan kasihan, melainkan akan marah besar padaku.

Tapi kalau pun dia marah harusnya aku bersyukur sebab tandanya ia masih peduli terhadapku. Namun bagaimana jika ia menjadi tak acuh. Mengingat saat ini ia sudah pergi membawa koper dan semua barang-barangnya tanpa ada satu pun yang ia tinggalkan kecuali aku.

"Tapi, Mas. Aku nggak tahu mukanya. Plat motor bagian belakangnya juga nggak ada."

"Gampang. Tanya aja temen-temennya yang sering manggal di depan gang."

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang