Bab 19 : Wrong Way

651 33 4
                                    

"Aku nggak pernah selingkuhin Kakak!"

"Jangan bohong!"

Rahang Sandi mengeras sambil sorot matanya menatapku dengan tajam. Pandangan itu terasa asing, aku tidak menemukan kehangatan di sana. Hatiku lemah saat tatapan itu makin dalam menusuk.

Aku juga tercekat ketika hardikan Sandi melesat ke telinga untuk pertama kalinya. Dapat kurasakan emosi yang begitu besar membungkus kalimat singkat dan cukup untuk membuatku terbungkam. 

"Aku yakin pasti ada sesuatu yang terjadi di antara kalian. Nggak mungkin kamu tiba-tiba batalin pernikahan kita yang tinggal hitungan hari."

Gemuruh di langit sejak tadi enggan berhenti bersaut-sautan persis seperti napas kasar kami yang beradu di dalam ruang yang sempit ini. Suasana yang tadinya penuh tawa secepat itu berubah kelam.

"Aku nggak nyangka kamu semunafik itu, Va!" Sandi tertawa kemudian melanjutkan kalimatnya, "kamu bilang nggak mau maafin dia, tapi sekarang kalian malah kawin. Gila, ya? Kamu nggak malu karena sudah ngejilat ludah sendiri?"

Aku hanya bisa tertunduk sambil memandangi ujung jariku yang bertaut. Aku tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Isi kepalaku menafsirkan kata demi kata yang keluar dari mulut Sandi. Munafik? Aku munafik? Tidak! Aku hanya ingin memperjuangkan apa kata hatiku saja, aku berhak memilih dan menentukan siapa pemilik hati ini.

"Lucu, aku kira kalau kamu nganggap aku sebagai rumah. Nggak taunya cuma tempat singgah. Kamu dulu kayak anjing sekarat yang minta dikasihani. Tapi, setelah kamu sembuh dari luka, kamu nyerang aku dan parahnya lagi kamu balik sama orang yang sudah ngelukain kamu."

Sandi tertawa singkat lalu membisu, kepalanya menoleh ke arahku dengan tatapan dingin.

"Lain kali, kalau nggak niat, nggak usah pura-pura serius!"

Aku menelan ludah dua kali guna meredam takut saat mata itu makin nyalang menatapku seolah siap menerkam dan mencabik diriku tanpa ampun. Sandi yang memesona sudah berubah menjadi harimau dan aku sekarang hanya seekor anjing jalanan yang tak berhak membela diri sedikit pun.

"Salahku juga yang sudah menaruh harapan besar sama kamu, salahku juga yang sudah nganggap kamu masa depanku. Meski kamu ngasih aku setengah hati dan ngeliat aku hanya sebelah mata, tapi aku yakin kamu bisa ngerasain kalau aku itu udah habis-habisan sama kamu. Cuma kamu aja yang nggak bersyukur."

"Nggak bersyukur? Kakak bilang aku nggak bersyukur?" Aku akhirnya memberanikan diri untuk menjawab dengan tanpa penekanan pada tiap-tiap kata yang kuucap.

"Kakak sadar nggak kalau tembok di antara kita itu tinggi, kuat dan kokoh banget! Aku awalnya fine aja tapi, waktu aku ngeliat Mami Renata, aku nggak tega. Sebagai sesama perempuan aku tahu kalau Mami nggak sepenuhnya ikhlas kalau Kakak ikut keyakinanku. Kak Sandi jangan mikirin diri sendiri, Kakak juga harus peka sama kanan kiri kakak!"

"Dan aku harus mengorbankan kebahagiaanku sendiri? Bukannya semua orang berhak menentukan kebahagiaannya masing-masing. Kayak kamu, yang nggak liat kanan kirimu."

Lagi-lagi Sandi tidak mau menerima pembelaanku. Kalimat itu terucap dengan hanya satu tarikan napas membuatnya kembali tersengal.

Ia menggenggam erat stir mobil dan rahangnya mengetat, ia kemudian memukul benda bundar yang ada di depan dadanya itu sebagai ungkapan kekesalan hatinya.

"Aku kayak gitu karena emang menurutku itu keputusan yang tepat. Kita nggak bisa sama-sama. Aku bukan yang terbaik dan Kak Sandi berhak dapat lebih!" jelasku dengan lirih.

"Omong kosong! Jangan berdalih kalau semua alasan yang kamu buat adalah sebuah kebaikan untuk aku. Kamu nggak tahu sehancur apa aku hari itu? Padahal sayangku sama kamu melebihi sayang pada diri aku sendiri. Masa depan yang udah aku gantung tinggi, bersanding sama nama kamu sudah hancur nggak bersisa." Terlalu kontras dengan nada suara yang tadi, kali ini Sandi berbicara dengan nada lemah dan tersirat keputusasaan di sana juga kecewa yang teramat sangat.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang