Bab 20 : Feel Bad

570 38 5
                                    

Aku pernah berada di dalam fase seperti berada di persimpangan jalan dan bingung menentukan jalan mana yang harus kupilih. Bimbang, aku tidak mampu merabai perasaanku sendiri.

Semua itu terjadi semenjak Dhoni kembali hadir dalam hidupku, tembok yang aku bangun dengan susah payah seolah runtuh, rata dengan tanah.

Hanya dengan mendengar suaranya saat ia memanggilku, hatiku bergetar hebat seperti ada aliran listrik yang menyengat. Senyum manisnya bagai api yang melelehkan lilin, mata teduhnya mampu membasahi hatiku yang dilanda kemarau panjang.

Awalnya, hati ini berteriak, tidak ingin tenggelam lebih dalam, apa lagi sampai kembali terjerat. Aku juga berusaha membuka kembali memori-memori menyakitkan yang dulu pernah Dhoni torehkan. Aku yakin, aku bukanlah keledai yang terperosok dua kali dalam lubang yang sama.

Ternyata aku terlalu percaya diri, aku kalah dan harus menjilat ludahku sendiri. Percikan api cinta kembali hadir di antara aku dan Dhoni. Ia berhasil memupuk cinta itu hingga tumbuh subur, merawatnya dengan penuh kasih sayang.

Pikiranku hanya berfokus padanya dan aku bahkan tidak malu mengakui jika aku jatuh cinta lagi pada laki-laki itu, walau hatiku sudah ada seseorang yang bahkan telah berhasil melingkarkan cincin di jari manisku sebagai pengikat, dia adalah laki-laki keturunan chinese bernama Sandi.

Lantas bagaimana?

Tidak tahu, aku hanya mengikuti alur. Aku menganggap ini adalah takdirku, mencintai dan menyayangi dua laki-laki sekaligus tidak pernah aku bayangkan sebelumnya dan jujur, aku menikmatinya. Aku juga menginginkan keduanya.

Sandi dengan kedewasannya membuatku nyaman sedangkan Dhoni yang mulai berusaha menunjukkan jika cintanya padaku itu tidak main-main, membuatku sulit untuk berpaling.

Aku serakah? Bisa dibilang begitu dan aku tahu ini salah. Aku sudah menduakan Sandi dan sedikit demi sedikit menggeser posisinya dan membagi posisi itu dengan Dhoni. Aku mencintai Sandi dan juga menginginkan Dhoni.

"Va, kamu demam?"

Aku beringsut dari dudukku. Perlahan membuka mata yang sengaja aku pejamkan demi menghindari kecanggungan di antara kami setelah terlibat ciuman panas terlarang beberapa menit yang lalu. Bajuku, celana sampai undies-ku basah, membuat aku semakin menggigil kedinginan.

Sandi mencoba meletakkan punggung tangannya di keningku lalu turun ke pipi, tapi aku menepis tangannya dengan tenagaku yang tersisa dan hasilnya sia-sia.

Sandi menepikan mobilnya kemudian mematikan ac mobil yang sebenarnya sudah ia atur dengan suhu paling rendah.

"Ya, Tuhan, Va! Kamu panas banget. Kita ke rumah sakit aja, ya?"

Dengan sigap, aku mencekal tangannya dan menggeleng. "Nggak, Kak. Kita pulang aja!"

"Pulang? Tapi, kamu sakit!"

"Kak, please! Aku mau pulang. Orang rumah pasti khawatir," ucapku lirih.

"Kita bisa telpon Mama kamu atau Bayu nanti, yang penting kamu—"

"Kak Sandi, please! Pulang."

Sandi seketika mengunci rapat bibirnya dan aku masih bisa membaca kekhawatiran lewat mata kecilnya. Sendu itu teramat jelas yang sekarang mampu membuat hatiku merosot tajam karena perhatian itu, khawatir itu sudah tak pantas lagi untuk aku dapatkan.

Sekarang wajahku merah padam, aku seperti sedang dilempari kotoran tepat di wajahku.

Sandi tidak segera melajukan mobilnya yang membuatku terpaksa melirik ke arahnya lewat ekor mataku. Sekarang ia tengah menengadahkan kepala, menatap langit-langit mobil yang jaraknya hanya sejengkal dari atas kepala.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang