Bab 40 : Seharusnya Seperti Ini (Selesai)

2.1K 53 8
                                    

Kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi pada satu detik di masa depan dan kita juga tidak mungkin bisa mengubah sesuatu yang sudah terjadi di masa lalu. Baik buruknya, tergantung dari sudut mana kita menilai. Mau terpuruk atau bangkit, itu adalah pilihan.

Biarkan semua mengalir mengikuti arus tanpa harus memaksa berbelok arah. Yang patah mari perbaiki, yang hancur biarlah menjadi debu dan menemukan tempatnya sendiri.

Yang pertama terlihat saat mataku terbuka hanyalah langit-langit polos. Bintik-bintik kecil seolah menari di udara. Aku tidak tahu ini di mana karena otakku terlalu lamban untuk memproses semua yang tertangkap oleh mata.

Pikirku, apa aku sudah berpindah alam?

Aku ingin berteriak, tetapi tenggoroakan rasanya tercekat. Rahangku kaku, sangat sulit digerakkan. Semakin lama, tubuhku semakin terasa berat juga panas kian menjalar. Nyeri di tiap titik tubuhku membawa ingatanku kembali pada kejadian kemarin. 

Sandi. Bagaimana nasib laki-laki itu sekarang?

Perlahan, sayup suara mulai masuk ke telinga. Lantunan ayat suci mendamaikan suasana. Kulirik sumber suara lewat ekor mata yang belum mampu terbuka sempurna.

Wanita paruh baya yang telah merawatku itu tengah menggenggam tanganku seolah tak ingin terlepas. Infus yang menancap di nadiku tak sedikit pun membuatnya ngilu.

Aku berusaha menggerakkan buku jari yang tergenggam erat. Tidak berniat mengusik, hanya saja aku ingin Mama tahu kalau aku masih bernyawa. 

Dan berhasil, suara Mama seketika terhenti dan fokusnya pada kitab suci teralih padaku kini.

"Ziva?"

Suara lirih tertangkap telinga. Senyum yang mengembang berbaur dengan rasa haru yang membuncah. Binaran mata itu teramat jujur, selayaknya memandang oase di padang tandus.

"Kamu sudah sadar, Nak?"

"Va, ini Mama." Suara Mama lirih dan penuh dengan kehati-hatian, ia tidak ingin membuatku takut.

Aku hanya mampu tersenyum lalu seketika tangis Mama terlihat dari pelupuk mata. Sapuan tangan tak jua mampu menghentikannya. Biarkan saja, aku tahu Mama sekarang sudah bisa bernapas lega.

"Kamu sudah lima hari nggak sadar. Mama khawatir banget," ucap Mama yang kini membelai lembut wajahku.

"Mama juga rindu."

Aku menggeleng lemah sembari tersenyum dan kuyakin Mama bisa mengerti jika yang ingin kukatakan adalah aku baik-baik saja.

"Minum, Ma."

Akhirnya aku berhasil bersuara, pelan dan hampir tak terdengar.

Mama segera beranjak dari kursi menuju nakas yang ada di sudut ruang. Terlihat begitu banyak parcel buah, makanan kaleng juga berbotol-botol air mineral.

Mama kembali padaku dengan senyum yang masih terukir dan tentu juga dengan sebotol air mineral di tangannya. 

Dengan cekatan, Mama membantuku dan setelah tiga kali tegukan, aku berhenti dan kembali diam.

Aku tidak bisa berbicara banyak, hanya Mamalah yang menceritakan keluh kesahnya. Juga permintaan maaf yang sebenarnya tidak perlu terhatur dari mulutnya. Karena bagiku, ini semua murni kesalahnku.

"Maafin Mama sama Papa juga kakak kamu yang nggak pernah ngedukung apa pun mau kamu, Va."

"Mama sama Papa juga nyesel ngebiarin kamu ngelewatin penderitaan ini sendiri seolah cuma kami yang tersakiti."

Aku hanya bisa membalas genggaman tangan Mama lalu menggeleng agar tangis itu segera berhenti. Seolah paham, Mama segera menghapus air matanya dan tersenyum lagi.

Imperfect HoneymoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang