28

119 11 2
                                    

Warning area, mohon bijak saat membaca, karena ketagihan ditanggung anda. Boleh di skip kalau kalian tidak nyaman.

Yeorin.

Sepanjang malam aku tersesat masuk dan keluar dari kesadaran, mengejar mimpi demi mimpi. Setelah beberapa saat, semuanya bercampur, mimpi indah berubah menjadi mimpi terburukku. Aku membuka mataku untuk melihat empat pria jangkung berdiri di tepi tempat tidurku, memakai topeng hitam bersisik.

Ular.

Mereka larut menjadi kabut hitam di depan mataku, dan aku tersentak, berguling ke samping untuk mengatur napas. Cahaya bulan menyelinap masuk melalui pintu Prancis yang terbuka, angin sepoi-sepoi dari teluk meniupnya hingga terbuka. Aku duduk dan menyeka kantuk dari mataku, bertanya-tanya bagaimana pintu bisa terbuka dengan sendirinya.

Langkah kaki yang berat mengetuk lantai kayu keras. Aku mengikuti suaranya, detak jantungku berdebar kencang di telingaku, darah mengalir deras ke kepalaku. Ruangan itu gelap gulita kecuali cahaya yang masuk dari balkon. Saat aku berkedip lagi, sesosok muncul dari sudut gelap.

"Jimin," bisikku.

Tidak ada Jawaban.

"Taehyung?"

Lebih hening.

"Soobin?"

Bukan sebuah kata.

Aku turun dari tempat tidur dan berlari ke arah mandi kamar mandi, di mana aku meninggalkan teleponku yang di charger. Sebelum aku menutup pintu dan menyalakan lampu, seseorang mendorongku ke dalam kamar mandi.

Aku meraih tepi wastafel untuk mendapat dukungan.

"Menjauhlah dariku," teriakku.

Dia mencengkeram pergelangan tanganku, meremasnya dan menimbulkan rasa sakit yang begitu keras menjalar ke lenganku.

"Lepaskan!"

Dia mengangkat pinggulku, jari-jarinya membelai kulitku saat dia membanting pantatku ke meja, memberi ruang untuk dirinya sendiri di antara pahaku.

"Katakan sesuatu! Apa yang salah denganmu?"

"Tidak," dia menghela napas di daun telingaku.

"Jimin?" Aku melihat ke cermin dan mengeluarkan nafas lega. "Kenapa kau tidak mengatakan apapun? Kau membuatku takut."

Aku mendorong telapak tanganku ke dadanya, berharap dia akan jatuh ke belakang sehingga aku bisa meluncur dari meja. Tapi dia terlalu besar dan kuat untuk dikalahkan.

"Jimin, bicaralah padaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang terjadi?"

Jimin meraih bahuku dan memelukku di tempatnya, panas dari tubuhnya memancar darinya.

"Rin," bisiknya sambil menempelkan dahinya ke dahiku. "Aku membutuhkanmu, sayang."

"Jimin, bicaralah padaku. Kenapa kau terlihat seperti kesurupan?"

Dia menarik celana dalamku, merobek kain tipis dari tubuhku.

Aku mengepalkan bajunya dan berteriak pada cairan di tanganku.

Sebuah lilin berkedip di atas meja. Aku menyalakannya sebelum aku pergi tidur, jadi aku bisa menemukan jalan ke kamar mandi jika aku bangun di tengah malam. Bahkan dalam kegelapan, aku tahu itu darah.

"Kau terluka." Aku melepaskan jasnya dari pundaknya. "Kenapa kau berdarah?"

"Itu bukan darahku," katanya dengan tatapan kosong.

The Devil i HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang