Empat Puluh

248 22 5
                                    

Langkah Oliv terhenti saat netranya menatap sosok cowok yang belakangan ini masuk di hidupnya. Sedangkan si cowok juga menatapnya, tanpa ekspresi di wajah. Tak mau berlama-lama menatap si cowok, Oliv pun meneruskan langkah. Namun, tangannya dicengkram oleh cowok itu, membuatnya tak bisa pergi.

"Apa?" tanya Oliv dengan nada jutek. Alvin, cowok yang mencengkram tangan Oliv, hanya terdiam sembari menatap datar si cewek. "Lo mau ngomong nggak? Kalau enggak, gue pergi."

"Sorry."

"Hah?"

"Gue bilang, sorry."

Oliv menyentak cengkraman Alvin dan berkata, "Lo minta maaf atau ngajak berantem?"

Alvin mengernyit tak suka. "Baru sehari bergaul sama Arga, lo jadi ngelunjak, ya."

"Ini bukan karena Arga, ini karena lo."

"Jadi, lo belain Arga?!" Nada bicara Alvin naik satu oktaf. Yang mana halnya membuat Oliv semakin menatap cowok itu tak suka. Menyadari perbuatannya, Alvin menghela napasnya, mencoba mereda amarah. "Sorry, gue gak maksud."

"Hm."

"Serius, Liv, gue minta maaf. Gue beneran nggak ada maksud kayak gitu. Gue yakin gue bakalan menang, tapi ternyata .... Intinya, gue salah, gue minta maaf."

Beberapa detik Oliv habiskan untuk menatap Alvin. Mata cowok itu memancarkan ketulusan, membuat Alya sedikit terheran. Cowok yang biasanya bikin rusuh ini meminta maaf dengan tulus kepadanya? Sungguh suatu yang patut dipertanyakan. Namun, Alya akhirnya mampu mengendalikan diri setelah berdehem pelan. Ia mengangguk, membuat Alvin sedikit menyunggingkan senyum.

"Terus masalah belajar bareng?" tanya Oliv. Mau bagaimana pun, ia masih memiliki tanggung jawab yang harus ia pikul.

"Nanti pulang sekolah? Di rumah gue?"

"Oke."

**

"Lo udah minta maaf belum?" tanya Dimas sembari berdiri di sebelah Alvin. Saat ini mereka sedang berada di rooftop.

"Hm."

"Udah belum?"

Alvin yang semula menghisap rokok dan menatap cakrawala pun berpindah menatap Dimas, setelah berdecak pelan. "Lo suka sama Oliv atau gimana sih?"

"Udah berapa kali lo nanyain itu Vin? Dan udah berapa kali juga gue bilang kalau gue nggak suka Oliv?"

Tak ada kata-kata, hanya tatapan menyelidik yang Alvin berikan kepada Dimas.

Farel yang berdiri di sebelah Dimas dan sibuk dengan jajanan di tangannya dan mulut yang penuh pun menyaut, "Beratus-ratus kali."

"Ditelen dulu!" Tanpa merasa bersalah, Dimas memukul belakang kepala Farel. Membuat sang empunya meringis, tetapi tak membalas. Sepertinya, sedang malas berdebat.

"Hm, gue udah minta maaf," kata Alvin sembari mengubah posisinya seperti semula.

Dengan teliti Dimas mengamati Alvin. Kemudian, cowok itu mengangguk dan mengikuti Alvin, mengamati cakrawala. Hening melanda, embusan angin menerpa mereka, mengantarkan kesejukan. Suara kunyahan Farel ikut meramaikan suasana.

"Kira-kira, Arga bakalan macam-macam nggak, ya, sama Oliv?" Pertanyaan Farel itu menyita atensi dua temannya. "Maksud gue, kita tau Arga itu orangnya kayak gimana, lebih barbar dari Alvin. Bahaya nggak kita biarin Oliv dalam cengkraman cowok itu? Mau gaimana pun kita turut bertanggungjawab atas situasi Oliv saat ini."

"Kayaknya sih enggak," jawab Dimas. "Karena sepenglihatan gue, Arga suka sama Oliv. Terlepas dia mau ngerecokin Alvin loh ya. Terus, sebejat-bejatnya cowok, masa sih yang tega ngebahayain orang yang dia suka? Enggak, 'kan?"

"Yah, semoga aja."

"Kecuali kalau dia nggak suka sama si cewek, pasti dia tega aja jadiin si cewek bahan taruhan, mana endingnya dia nggak menang."

Alvin yang sedari tadi berperan sebagai pendengar, langsung berkomentar saat mendengar pernyataan Dimas, "Lo nyindir gue?!"

Sang tersangka malah cuma melirik Alvin dan berkata, "Lo kesindir? Ya sori."

"Anjing!"

Tawa Farel pun mengudara, mengabaikan raut kesal Alvin dan senyum miring yang dilontarkan Dimas.

**

"Ini dikerjain dulu, jangan main hp terus!" gerutu Oliv sembari merebut ponsel Alvin.

Sang pemilik ponsel mendelik kepada Oliv yang hanya memasang wajah datar dan mengendik ke buku tulis di hadapan mereka. Tak ingin memperpanjang masalah, Alvin memutuskan mengalah, mengambil pensil dan menatap soal di depannya. Hanya menatap, tanpa memikirkan jawaban, atau sekedar membacanya.

"Nah gitu dong, belajar yang rajin. Sampe kapan nilai kamu merah terus?" ucap Mama Alvin sembari meletakkan dua gelas es di hadapan Oliv dan Alvin.

"Sampe lulus," gumam Alvin yang mendapat pukulan manja di punggung. Pelakunya? Tentu saja sang mama. "Iya, Ma, ampun, cuma bercanda."

Oliv yang menyaksikan itu pun berusaha menahan senyuman. Alvin, cowok yang ia kenal galak, bisa berubah jadi kucing penurut jika dihadapkan dengan sang mama. Sungguh, Oliv masih belum mempercayai fakta itu.

"Nak Oliv, kalau Alvin susah dibilangi, marahin aja, nggak masalah kok."

"Siap, Tante." Oliv tersenyum lebar, membuat Rosa ikut tersenyum dan pamit ke belakang.

"Gak usah sok manis!"

Senyum Oliv seketika pudar, digantikan dengan kedua mata yang menatap Alvin tajam. "Buruan kerjain!"

"Kok nyuruh? Lo babu gue kalau lo lupa."

"Ish, gak ada babu-babuan, titik. Capek gue."

"Nggak—"

"Apa? Nggak apa?" Oliv melotot menatap Alvin yang langsung terdiam. "Lo ngebikin gue terjebak sama Arga, jadi gue mau hubungan majikan-babu kita berhenti. Oke? Impas! Nggak ada bantahan."

Terpaksa, Alvin menelan bulat-bulat protesan yang ingin ia layangkan. Kalau ia pikir-pikir, Oliv ada benarnya. Lagipula selama ia mempermainkan mangsa, ia tak pernah sampai membuat sang mangsa berurusan dengan orang lain. Hanya Alvin seorang yang boleh mengganggu mangsa itu.

Pandangan Alvin menjadi mengarah ke buku tulis di depannya setelah Oliv mengendikkan dagu, bermaksud menyuruhnya kembali mengerjakan. Pensil di tangannya ia mainkan, sambil matanya membaca tulisan di buku itu. Sedangkan otaknya entah mengapa kembali memunculkan adegan Oliv yang dijemput oleh Arga. Pensil di tangannya tampa sadar ia genggam semakin erat. Gendang telinganya menangkap dering ponsel Oliv, tapi ia tetap memakukan pandang ke buku tulis.

"Duh Van, gue lagi di rumah Alvin, gimana dong?"

"Yah, Liiv, trus ini si Febby gimana? Masa iya dia gue ajakin ke rumah sakit? Iya kalau dibolehin ikut masuk ruangan, kalau malah diusir? Tolonglah Liivv, yaa?"

Oliv menggigit bibir bawahnya. Ia tampak resah, bingung harus berbuat apa. Alvin yang mengkap gestur itu pun inisiatif bertanya, "Kenapa?"

"Vania minta gue jagain ponakannya, karena dia mendadak dapat telfon dari rumah sakit, nyokap pingsan di tempat kerja."

"Ya udah, lo ke rumah Vania gih."

"Terus, acara belajarnya?"

Alvin melirik tanpa minat ke buku-buku di hadapannya. "Lanjutin kapan-kapan."

Beberapa detik Oliv terdiam sebelum mengangguk dan berkata, "Oke, Van, gue ke rumah lo, tapi bentar ya, gue pesen ojek online dulu, soalnya motor gue lagi di bengkel."

"O—"

"Gue anterin."

"Hah?" Alya mengerjab menatap Alvin.

"Gue anterin." Cowok itu bangkit dari duduknya. "Bentar, gue ambil kunci motor sama jaket."

****

Huu udah part empat puluh aja
Mungkin kalian mikirnya, End nya part berapa sih, panjang banget persaan. Iya kaan?? Iya kan? Hehe, sabar ya
Hmm enaknya sad ending atau happy ending?

Rabu, 12 Mei 2021

Just MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang