Delapan

956 86 4
                                    

Vania tak henti-hentinya melirik Oliv yang duduk di sebelahnya. Sahabatnya itu memandang ke depan, seakan memperhatikan guru yang menerangkan di depan, tapi Vania tahu sahabatnya itu tidak memperhatikan.

Sampai bel pulang berbunyi, Vania masih curi-curi pandang ke Oliv.

"Liv," panggil Vania.

"Eh, iya, kenapa Van?"

"Gue perhatiin dari tadi lo kayak gak fokus. Kenapa?"

Oliv menggeleng pelan. "Bukan apa-apa."

"Lo masih mikirin kejadian di kantin ya?" Oliv menghela nafas pelan. "Sorry ya, tadi gue gak bantuin lo. Kalau si Clarin, gue berani, tapi kalau Alvin? Sorry gue gak berani."

"Iya, gapapa kok." Oliv mengulas senyum.

"Terus, sekarang lo mau gimana?"

"Besok deh gue mau nyari Alvin, mau memperjelas situasi."

"Bagus deh kalau lo masih bisa berpikir jernih." Oliv tersenyum dan mengangguk pelan.

"Yaudah pulang yuk."

"Duluan aja, lo udah di jemput kan?" Vania mengangguk, kemudian cewek itu berlalu pergi meninggalkan Oliv sendirian di dalam kelas. Setelah menghela nafas beberapa kali, Oliv memutuskan untuk pulang.

Dia berjalan santai di koridor, masih dengan pikiran yang melayang kearah Alvin. Oliv gak habis pikir, bisa-bisanya cowok itu mencetuskan hal gila kayak gitu. Jadi babu? Satu bulan? Mimpi apa Oliv semalam.

Oliv kembali menghela nafas, rencananya ia akan langsung pulang setelah itu mandi, ganti baju, lalu pergi ke cafe favoritenya untuk mengerjakan tugas-tugas yang banyaknya gak kira-kira, dan tentunya bisa bikin otak panas.

Namun, lamunan Oliv buyar karena ada seseorang yang memanggil namanya. Ia menengok kebelakang dan langsung menyesal karena yang memanggilnya ternyata adalah Alvin.

"Nih, bawain tas gue." Setelah berdiri di samping Oliv, cowok itu melempar tasnya kearah Oliv. Kemudian cowok itu melanjutkan langkahnya.

Setelah bengong beberapa saat, kesadaran Oliv kembali. "Alvin!" serunya.

Alvin menghentikan langkah dan menoleh kearah Oliv. Dengan langkah lebar Oliv menghampiri Alvin dan setelah berada di depannya, Oliv memberikan kembali tas Alvin.

"Tas lo, bawa sendiri."

Senyum miring tersungging di bibir Alvin. "Lo kan babu gue."

"Sejak kapan?"

"Sejak saat ini."

"Tapi kan gue gak setuju."

"Terserah. Gue gak butuh persetujuan lo," balas Alvin santai.

"Kok lo gak perlu persetujuan gue?" tanya Oliv. "Ya lo butuh dong, ini kan menyangkut kita berdua. Pokoknya gue gak mau jadi babu lo, titik."

"Terus, lo gak mau tanggung jawab?" tanya Alvin melirik seragamnya.

Oliv menghela nafas lelah. "Oke, gue salah, gue minta maaf. Gue juga bersedia kalau lo minta gue buat nyuciin seragam lo. Tapi gue gak bersedia kalau lo minta gue jadi babu lo."

"Ya ya terserah. Intinya mulai saat ini lo babu gue, titik." Alvin kembali melemparkan tas miliknya ke Oliv dan cowok itu berlalu pergi. Oliv memanggil-manggil Alvin, tapi kali ini Alvin tidak mau medengar Oliv, cowok itu tetap berjalan lurus. Mau tak mau Oliv menyusul Alvin.

Sampai di depan motor Alvin, cowok itu mengambil tasnya. "Bagus, babu yang pintar," katanya seraya mengacak rambut Oliv.

Dengan kasar Oliv menepis tangan Alvin. "Jangan pegang rambut gue. Dan jangan panggil gue babu."

Just MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang